• Beranda
  • Berita
  • Bergotong royong penuhi kebutuhan dokter spesialis

Bergotong royong penuhi kebutuhan dokter spesialis

2 Juni 2023 19:40 WIB
Bergotong royong penuhi kebutuhan dokter spesialis
Seorang dokter spesialis memeriksa anak di RSIA Lombok Dua Dua Surabaya, Minggu (21/5/2023). ANTARA/HO - RSIA Lombok Dua Dua

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut Indonesia kekurangan sekitar 30.000 dokter spesialis pada 2023. Jumlah dokter spesialis saat ini tercatat 51.949, idealnya Indonesia memiliki 272.000 dokter spesialis. Kurangnya jumlah dokter spesialis tersebut memiliki dampak kurang optimalnya layanan kesehatan pada masyarakat.

Pelaksana Tugas Dirjen Diktiristek Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Prof. Nizam menyebutkan ada beberapa beberapa aspek yang menjadi perhatian dari Kemenkes terkait ketersediaan dokter spesialis.

“Mulai dari penerimaan program pendidikan dokter spesialis (PPDS) yang sangat terbatas kuotanya. Sulitnya seleksi masuk PPDS, biayanya mahal serta sulit terjangkau untuk peminat untuk menjadi dokter spesialis khususnya yang berasal dari daerah timur Indonesia,” terang Nizam dalam diskusi yang diselenggarakan Universitas Yarsi di Jakarta, belum lama ini.

Sejak beberapa tahun lalu, terdapat sejumlah langkah transformasi dalam kebijakan pendidikan kedokteran dan transformasi kebijakan kesehatan melalui UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.

Sejumlah hasil intervensi di antaranya peningkatan jumlah lulusan dari 6.000 menjadi 12.000 dokter per tahun, peningkatan jumlah program studi terakreditasi A dari 14 prodi menjadi 30 prodi, kemudian peningkatan lulusan ujian kompetensi dokter dari 67 persen menjadi 81 persen, dan lainnya.

Dalam percepatan penyiapan dokter spesialis, yang terpenting adalah bagaimana kualitas tetap menjadi prioritas utama. Jika ingin mengakselerasi jumlah dokter spesialis dengan gotong royong, perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

Sebenarnya Kemendikbudristek sudah memenuhi target yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan dan sudah sesuai dengan proyeksi 10 tahun yang lalu. Akan tetapi, saat ini terjadi penambahan kebutuhan dokter spesialis.

“Itu akan kita lakukan dengan membuka moratorium program studi kedokteran,” jelas Nizam.

Kebutuhan akan dokter spesialis itu bisa diselesaikan dalam waktu 3 tahun ke depan. Saat ini, jumlah dokter yang mengikuti pendidikan spesialis mencapai 15.000 orang.

“Artinya, kalau kita garap betul, dalam waktu 3 tahun sudah akan terpenuhi kebutuhan 30.000 dokter spesialis tadi, asalkan kita bergotong royong,” imbuh dia.

Gotong royong untuk pemenuhan kebutuhan dokter spesialis penting untuk dilakukan karena pemahiran para spesialis tak cukup hanya dilakukan oleh fakultas-fakultas kedokteran.

Gotong royong tersebut tidak hanya dilakukan oleh fakultas kedokteran, tetapi juga rumah sakit yang membuka akses bagi para mahasiswa PPDS untuk mengasah kemampuannya. Kementerian Kesehatan pun akan membantu dengan pembiayaan karena UU Pendidikan Kedokteran mengamanatkan bahwa mahasiswa PPDS mendapatkan insentif.

“Ini yang harus dipenuhi oleh teman-teman Kemenkes, bagaimana biaya-biaya untuk menghasilkan spesialis dapat dipenuhi oleh pemerintah,” ujarnya.

Pihaknya minta, agar upaya akselerasi jumlah dokter spesialis itu dilakukan hanya dengan satu sistem yang sudah terbukti sehingga jika ada masalah dapat mencari solusinya. Dengan demikian, tidak perlu mengubah total keseluruhan sistem.

Kemampuan Kemendikbudristek diakui terbatas sekali karena harus mengurus semua pendidikan, mulai dari pendidikan filsafat sampai prodi teknik nuklir.

Oleh karena itu, tidak mungkin dengan sumber daya yang terbatas tersebut Kemendikbudristek, melalui fakultas-fakultas kedokteran yang ada, memenuhi kebutuhan dokter spesialis sendirian. Diperlukan kerja sama, terutama dengan pemda dan rumah sakit-rumah sakit.

Ketersediaan jaringan tersebut menjadikan setiap fakultas kedokteran tidak diwajibkan memiliki rumah sakit sendiri.

“Rumah-rumah sakit yang ada di daerah itu tolong bisa dimanfaatkan oleh fakultas-fakultas kedokteran. Jadi, dengan begitu kita bisa efisien, hemat, dalam penyelenggaraan pendidikan ini,” imbuh dia.


Pemetaan demografi

Rektor Universitas Yarsi Prof. Fasli Jalal    mengatakan kebutuhan dokter spesialis di Tanah Air beragam, yang bisa dilihat mulai dari pemetaan demografi penduduk hingga transisi epidemiologi yang membuat penyakit tertentu bertambah dan berkurang.

“Untuk itu perlu pemikiran yang jernih untuk mengetahui berapa kebutuhan dokter spesialis di Indonesia. Kita bisa mendapatkan gambaran kebutuhan dokter spesialis apa saja yang dibutuhkan, distribusinya, dan apakah ada peluang untuk meningkatkan hal itu,” kata Fasli.

Perguruan tinggi dinilai perlu berkolaborasi dengan pemerintah daerah dan pusat untuk memenuhi kekurangan dokter spesialis.

“Bagaimana perekrutan lalu pendistribusiannya, itu disinergikan dengan Kementerian Kesehatan maupun daerah,” imbuh Fasli.

Jadi, jangan sampai lulusan PPDS malah kebingungan ketika lulus karena dokter  spesialisnya sudah terlalu banyak. Perlu pemetaan bersama agar lulusan kedokteran spesialis dapat disalurkan di sejumlah rumah sakit yang membutuhkan.

Selama ini, distribusi dokter spesialis masih terpusat di layanan kesehatan yang ada di Pulau Jawa. Di Jawa pun, sebagian besar dokter spesialis menumpuk di kota-kota besar.

Pemenuhan dokter spesialis juga perlu mempertimbangkan aspek penempatan dokter, jenjang karier, dan penyediaan insentif sehingga kesejahteraan dokter spesialis terjamin.

Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Kesehatan   Sundoyo menjelaskan Indonesia saat ini memiliki 51.949 dokter spesialis dengan target rasio 0,28 berbanding 1.000 penduduk. Dari angka tersebut, Indonesia masih kekurangan 30.000 dokter spesialis.

Sebanyak 40 persen RSUD belum memiliki tujuh jenis dokter spesialis dasar, yakni dokter spesialis kandungan, dokter spesialis anak, dokter spesialis anestesi, dan bedah, radiologi, serta patologi klinik.

Sundoyo menambahkan RUU Kesehatan menjadi upaya terbaru pemerintah dalam percepatan jumlah dokter spesialis.

Melalui RUU tersebut, Pemerintah menempatkan aspek pendidikan dokter spesialis menjadi satu di antara materi muatannya.

 


Editor: Achmad Zaenal M

 

 

 

Pewarta: Indriani
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023