Hal itu terungkap dalam forum diskusi yang diadakan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Utrecht, Belanda, bekerjasama dengan Institute for Science and Technology Studies (ISTECS) Belanda yang membahas masalah banjir di Indonesia.
Rencana pembuatan tanggul penahan laut pasang di sepanjang pantai Jakarta perlu diapresiasi karena hal ini terbukti keberhasilannya di negara Belanda, ujar Siswanto, kandidat PhD bidang perubahan iklim dan hidrologi pada Utrecht University kepada ANTARA London, Jumat.
Guna mengendalikan banjir, forum kajian PPI Utrecht dan ISTECS mendorong Pemerintah mengoptimalkan pengendalian banjir dengan cara konvensional yang terbukti kebenarannya meskipun belum optimal, dari pada mengadopsi cara baru yang masih diragukan kebenarannya.
Guna mengendalikan banjir forum menyarankan Pemerintah untuk melakukan penanganan secara menyeluruh dari hulu sampai hilir sebagai satu kesatuan sistem daerah aliran sungai.
Pengendalian banjir dengan cara kovensional dilakukan dengan pembangunan tanggul, situ, retention basin, waduk, sumur resapan, meningkatkan intensitas pengerukan sungai, serta meluaskan penghijauan.
Jika daerah hilir ditangani namun daerah hulu tidak, maka permasalahan banjir itu tidak akan pernah selesai, ungkapnya.
Diakuinya pelajar dan masyarakat Indonesia di Belanda prihatin terhadap permasalahan banjir yang berulang kali melanda Jakarta.
Menurut Siswanto, dalam mensikapi keprihatinan ini ada dua respon yaitu melakukan penggalangan dana bantuan kemanusiaan, serta mengelar diskusi dan memberikan masukan pengendalian banjir Jakarta yang lebih baik.
Rekomendasi dalam diskusi ini juga mendapatkan masukan dari pelajar pasca sarjana lainnya dari rumpun ilmu sosial, sehingga substansi rekomendasi menjadi lebih komprehensif.
Kajian yang dilakukan di Aula Stichting Generasi Baru (SGB) Utrecht pada awal Februari ini menghasilkan beberapa rekomendasi.
Diantaranya Pemerintah perlu mempelajari secara akurat apa saja sesungguhnya masalah yang ada, serta bagaimana keterkaitan antar masalah tersebut terjadi.
Secara meteorologis, adalah tidak tepat jika menyatakan banjir Jakarta disebabkan banjir "kiriman" dari Bogor.
Berdasarkan data pengamatan curah hujan selama sepuluh tahun terakhir, saat banjir terjadi di Jakarta, curah hujan di Bogor selalu jauh lebih rendah daripada di Jakarta. Selain itu, tidaklah bijak jika menyalahkan banjir di Jakarta diakibatkan perubahan iklim atau pemanasan global.
Forum diskusi mengurai banjir lebih sebabkan oleh penurunan permukaan tanah di Jakarta terhadap permukaan laut yang diperparah oleh pasang air laut (ROB) yang menghambat air mengalir ke laut.
Argumentasi ini didasarkan pada data pemanasan global "hanya" berkontribusi terhadap kenaikan air laut sekitar 10 cm selama lebih dari 30 tahun terakhir. Sedangkan tingkat penurunan tanah di Jakarta amat masif, mencapai 17 cm/tahun.
Penurunan tanah ini diyakini dipicu pengambilan air yang tidak terkontrol oleh mall, hotel, apartemen, dan industri lainnya.
Sehingga, ada irisan penyebab faktor iklim namun penyebab utama banjir terletak di dalam Jakarta itu sendiri. Maka, sebaiknya Pemerintah fokus memperbaiki masalah di internal, dan bukan "melempar" masalah ke perubahan iklim, ujarnya.
Namun forum menyangsikan usulan pengendalian banjir dengan membuat terowongan di bawah Jakarta guna mengalirkan banjir ke laut. Ide mengikuti Kuala Lumpur (KL) ini dirasa kurang tepat karena KL berada pada ketinggian 22 meter diatas permukaan laut (dpl) .
Padahal, Jakarta yang hanya terletak pada tujuh meter dpl dan sudah setengah "tenggelam". Sehingga, air dalam tunnel di Jakarta akan sulit mengalir secara otomatis ke laut.
Untuk itu diharapkannya Gubernur atau Wakilnya perlu melakukan pendekatan kultural dengan Kepala Daerah mitra. Selain mencari terobosan yang memungkinkan Pemprov Jakarta membantu pelestarian lingkungan di daerah resapan air yang terletak di luar Jakarta sebagai upaya pelestarian daerah hulu. (ZG)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013