Untuk opini publik, sudah oke. Tapi nalar atau logika politik belum ketemu.
Nama-nama bakal calon presiden yang akan berkompetisi pada pesta demokrasi terbesar di Indonesia, Pemilihan Umum Serentak 2024, sudah mulai diperkenalkan oleh sejumlah partai politik.
Sejauh ini, ada dua nama yang sudah secara resmi telah dideklarasikan oleh partai politik untuk menjadi bakal calon presiden Indonesia, yakni Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan.
Satu nama lagi, Prabowo Subianto yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan-- meskipun belum dideklarasikan untuk berlaga pada Pemilu Presiden (Pilres) 2024--, juga turut serta meramaikan persiapan penentuan masa depan Indonesia itu.
Nama-nama tersebut memang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Tiga nama tersebut kini mulai menjadi buah bibir masyarakat. Pertanyaan terbesar, siapa pengganti Presiden Joko Widodo usai Pemilu 2024 dilaksanakan.
Pertanyaan tersebut memang nantinya akan terjawab pada saat masyarakat telah melaksanakan Pemilu pada 14 Februari 2024. Namun, untuk saat ini, ada pertanyaan yang lebih menarik, yakni siapa para pendamping atau bakal calon wakil presiden yang akan mendampingi tiga nama itu.
Nama-nama terkait bakal calon wakil presiden yang akan mendampingi Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto sedang menjadi perhatian publik. Banyak nama besar yang coba dikaitkan dengan tiga bakal calon presiden tersebut.
Sejumlah nama bakal calon wakil presiden yang banyak dibicarakan di antaranya adalah Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, serta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Selain itu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, putra mantan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, dan mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimim Iskandar.
Nama-nama itu, kini mulai meramaikan bursa bakal calon wakil presiden, meskipun juga muncul nama baru seperti Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono untuk digandengkan dengan Ganjar Pranowo.
Munculnya nama-nama potensial bakal calon wakil presiden itu, tentu bukan sekadar ramai diperbincangkan. Partai politik saat ini benar-benar memperhitungkan peluang masing-masing bakal calon presiden saat disandingkan dengan figur tertentu.
Lembaga-lembaga survei di dalam negeri sudah melakukan perhitungan elektabilitas dengan nama-nama bakal calon presiden tersebut. Selain itu, simulasi juga dilakukan terhadap bakal calon presiden yang dipasangkan dengan bakal calon wakil presiden.
Berdasarkan data dari lembaga survei Indikator Pilitik Indonesia, dalam laporan yang dikeluarkan pada 18 Mei 2023, hasil dari survei kepada 1.200 orang, mencatat bahwa tiga nama bakal calon presiden itu menduduki peringkat tiga teratas dari 19 nama yang dilakukan survei.
Sementara pada simulasi dari tiga nama tanpa sosok pendamping atau bakal calon wakil presiden, didapati hasil 34,8 persen untuk Prabowo Subianto, 34,4 persen memilih Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan sebanyak 21,8 persen, sementara 8,9 persen tidak menjawab.
Namun, jika ketiga nama tersebut dipasangkan dengan bakal calon wakil presiden, juga memiliki dampak terhadap elektabilitas. Dalam simulasi tersebut, Ganjar Pranowo yang dipasangkan dengan Ridwan Kamil memiliki elektabilitas mencapai 36,3 persen.
Sementara Prabowo Subianto yang dipasangkan dengan Erick Thohir, mendapatkan porsi sebesar 35,4 persen, dan Anies Baswedan dengan Mahfud MD mendapat 17,8 persen, sedangkan yang tidak menjawab 10,7 persen.
Dalam simulasi lainnya, ada kejutan dari Ganjar Pranowo yang dipasangkan dengan Sandiaga Uno. Elektabilitas Ganjar dan Sandiaga naik menjadi 38 persen, Prabowo dengan Erick Thohir 32,2 persen dan Anies Baswedan dengan AHY 19,2 persen, dan 10,6 persen tidak memilih.
Skenario lainnya, Ganjar-Sandiaga mendapatkan 37 persen, Prabowo Subianto-Erick Thohir 34,3 persen dan 17,9 persen untuk Anies Baswedan saat dipasangkan dengan Khofifah Indar Parawansa.
Simulasi terakhir, Ganjar Pranowo-Ridwan Kamil mencapai 40,1 persen, Prabowo-Khofifah 30,5 persen, dan Anies Baswedan-AHY 18,5 persen. Dari hasil survei tersebut, setidaknya bisa dijadikan bekal dari partai politik untuk menentukan siapa pendamping yang paling sesuai.
Logika politik, opini publik
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pasangan calon wakil presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan.
Persyaratan tersebut adalah perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR RI Tahun 2019.
Saat ini, ada 575 kursi di parlemen sehingga pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu Presiden 2024 harus memiliki dukungan minimal 115 kursi. Bisa juga pasangan calon diusung oleh parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu 2019 dengan total perolehan suara sah minimal 34.992.703 suara.
Berbicara penentuan bakal calon presiden maupun wakil presiden, selain harus memenuhi persyaratan tersebut, tentunya tidak lepas dari peranan partai politik. Partai politik memiliki kewenangan untuk menentukan siapa saja yang akan diusung untuk berkompetisi pada Pemilu 2024.
Harus diakui pula dalam menentukan nama-nama tersebut juga ada kesepakatan politik dari sejumlah partai pengusung. Kesepakatan-kesepakatan politik itu harus mengedepankan kepentingan rakyat Indonesia, bukan hanya kepentingan partai politik.
Pengamat politik Universitas Brawijaya Wawan Sobari mengatakan bahwa dari sisi opini publik, berdasarkan hasil survei dari sejumlah lembaga, memberikan gambaran yang jelas. Potensi dari masing-masing bakal calon presiden dan wakil presiden sudah tergambar.
Namun, menurut Wawan, dengan belum diputuskannya siapa bakal calon wakil presiden yang akan mendampingi tiga nama tersebut, masih ada negosiasi kepentingan antarpartai politik yang masih belum bisa disepakati.
"Untuk opini publik, sudah oke. Tapi nalar atau logika politik belum ketemu. Artinya, negosiasi kepentingan antarpartai politik yang sudah menyampaikan calon presiden dengan partai yang mengajukan nama cawapres, itu nampaknya belum ketemu," katanya.
Saat ini partai politik masih dalam tahap untuk menyeimbangkan antara logika politik dengan opini publik berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga tersebut. Dari partai pengusung tiga nama tersebut, masih saling menunggu untuk mengambil keputusan.
Pertimbangan untuk menentukan siapa pendamping dari tiga nama tersebut, memang pekerjaan rumah yang sangat besar yang harus segera diselesaikan oleh partai politik pengusung masing-masing calon.
Pesta demokrasi yang bijak
Tentunya, masyarakat Indonesia juga masih ingat pelaksanaan Pemilu 2019 yang diwarnai politik identitas. Dalam pemilu saat itu, masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua kubu yang saling berseteru dan seolah harus memenangkan sebuah pertandingan besar.
Memang, dalam persaingan politik, ada pihak yang nantinya akan menang dan ada yang kalah. Namun, itu semua harus diterima dengan lapang dada karena urusan memimpin sebuah negara bukan sekadar mencari pekerjaan, melainkan juga panggilan hati untuk membenahi bangsa.
Sehingga, pengalaman yang terjadi pada 2019 itu harus menjadi pengalaman berharga, bukan hanya bagi masyarakat Indonesia, melainkan juga bagi elite-elite partai politik di negeri ini. Elite politik sudah seharusnya memberikan pelajaran bahwa berpolitik itu harus bijak.
Tidak perlu banyak sandiwara politik yang harus dipertontonkan kepada masyarakat hanya untuk sekadar melakukan uji coba dalam mendapatkan suara atau perhatian publik. Sebaliknya, publik harus diberikan edukasi agar bisa berdemokrasi dengan dewasa dan bijak.
Pada akhirnya, penentuan bakal calon wakil presiden yang akan maju pada Pemilu 2024, harus mengedepankan sosok yang paling ideal untuk menjadi pemimpin Indonesia dan mengutamakan kepentingan rakyat.
Kepentingan rakyat yang paling utama adalah terkait dengan keberlanjutan. Apa yang sudah dicapai dengan baik pada era pemimpin saat ini, sudah seharusnya dipertahankan dan ditingkatkan untuk kepentingan rakyat Indonesia.
Jadi, Pemilu 2024 menjadi harapan baru untuk Indonesia yang lebih baik.
Editor: Achmad Zaenal M
Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023