Jakarta (ANTARA News) - Menteri Pendidikan Jerman Annette Schavan akhirnya memutuskan mengundurkan diri pada Sabtu (9/2) atas tuduhan plagiat pada sebagian disertasinya pada 1980 dan gelar doktornya pun dicabut.Ini bukan masalah `menangkap plagiarisme`, melainkan mendidik untuk tidak melakukannya sejak awal. Memberikan bekal sikap dan perbuatan anti plagiarisme akan menghasilkan mahasiswa dan pengajar yang berintegritas,"
Tentu saja pengunduran diri Schavan merupakan tamparan bagi Kanselir Angela Merkel karena kasus serupa pernah menimpa Menteri Pertahanan Jerman Karl-Theodore zu Guttenberg yang langsung mengundurkan diri dari jabatannya pada tahun 2011 setelah terungkap yang bersangkutan menyalin sebagian besar disertasinya.
Kasus pengunduran diri dua menteri Jerman tersebut menarik perhatian sedikitnya dua akademisi dari perguruan tinggi di Indonesia, yakni Pengajar Senior di Binus University, Amalia E. Maulana, Ph.D. dan Direktur Pascasarjana Universitas Paramadina Dinna Wisnu Ph.D. Amalia yang menyelesaikan S-3 di the School of Marketing, University of New South Wales, Australia, dan Dinna dari The Ohio State University, Amerika Serikat, memberikan pendapat tentang plagiarisme di dunia akademik Indonesia.
"Pada titik ini, saya sendiri belum bisa mengatakan bahwa semua plagiarisme yang terjadi di dunia akademik Indonesia itu adalah unsur kesengajaan," kata Amalia.
Dia berpendapat sebagian besar plagiarisme terjadi akibat dari kurangnya pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang definisi plagiarisme itu sendiri. Seperti apa koridor batasan yang menyebabkan sebuah karya disebut dalam kategori plagiarisme.
Sebagian besar masih beranggapan bahwa plagiarisme itu apabila meniru total karya orang lain, tetapi apabila hanya mengambil sebagian saja masih dianggap "aman". Belum banyak senior di universitas yang secara serius mengajarkan cara untuk menggunakan bahasa sendiri dalam mengekspresikan ide dari tulisan orang lain yang disebut dengan "paraphrasing", katanya.
Pelajaran "Tata Tulis Karya Ilmiah" memang masih mendapat porsi yang sangat sedikit di kampus. Padahal, dengan memberikan perhatian yang lebih pada pengajaran bagaimana menulis karya tulis yang baik, akan memberikan fundamental yang cukup bagi mahasiswa dalam berkarya di mata pelajaran biasa maupun di karya tulis akhir.
"Usaha antiplagiarisme di dunia pendidikan Indonesia harus dilakukan secara sistemik, tidak bisa sporadis saja. Dan, ini bukan hanya di tingkat mahasiswa yang masih baru belajar, tetapi juga di tingkat pengajarnya, terutama pengajar yang murni mendapat pendidikan dalam negeri," kata Amalia, Direktur PT ETNOMARK Consulting.
Menurut dia, apabila seorang pengajar sudah mengenyam pendidikan di luar, tidak ada alasan lagi untuk menyatakan diri tidak memahami arti plagiarisme.
Di universitas luar negeri, aturan untuk plagiarisme sangat ketat dan seharusnya ini membentuk cara kerja dan pikir lulusannya.
Plagiarisme memang bukan hal baru, tetapi akhir-akhir ini lebih banyak kasusnya ditemukan, seperti kasus mundurnya Menteri Pendidikan Jerman Annette Schavan. Ini adalah berkat kemajuan yang pesat di teknologi "search engine".
Kemudahan dalam "searching" secara online ini memudahkan siapa saja untuk "check-recheck-double check" karya tulis orang-orang yang menduduki posisi penting di panggung politik. Saat ini, sudah banyak "software" yang membantu para "reviewer paper" akademik untuk mengecek kualitas paper yang di-"review"-nya dengan bantuan piranti lunak tersebut.
Beberapa dosen yang mempunyai keinginan tinggi untuk menegakkan integritas karya tulis, menggunakan Google untuk memeriksa hasil karya mahasiswa.
"Akan tetapi, `checking` secara manual ini tentu melelahkan dan membuang waktu. Berapa banyak dosen yang mempunyai waktu untuk dedikasi terhadap antiplagiarisme bila dihambat dengan ketersediaan waktu?" tanyanya.
Oleh karena itu, beberapa universitas, termasuk Binus University, telah mengantisipasi hal ini dengan membekali dosen dan mahasiswanya dengan piranti lunak pengecek plagiarisme, yaitu Turnitin.
Dengan sangat mudah, secara online, seorang mahasiwa bisa memeriksa hasil tulisannya dan mengoreksinya apabila ternyata terdapat indikasi plagiarisme. Demikian pula, di sisi dosen yang memeriksa karya tulis, bisa secara mudah me-"review" unsur plagiarisme ini secara otomatis.
Amalia mengatakan bahwa sosialisasi antiplagiarism sudah dilakukan sejak awal, dalam program matrikulasi atau orientasi. Ini menyiapkan mahasiwa bahwa ekspektasi universitas sudah dibangun sejak awal.
"Ini bukan masalah `menangkap plagiarisme`, melainkan mendidik untuk tidak melakukannya sejak awal. Memberikan bekal sikap dan perbuatan anti plagiarisme akan menghasilkan mahasiswa dan pengajar yang berintegritas," katanya.
Dikatakan plagiarisme adalah sikap/perbuatan antisosial yang merugikan orang lain dan merugikan komunitas. Itu harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan.
Dinna Wisnu mengatakan bahwa plagiarisme adalah delik aduan. Jadi, kalau tidak ada yang mengadukan dan mempermasalahkan karya ilmiah seseorang, maka kalaupun orang itu menyalahi kaidah ilmiah, dia belum tentu tertangkap.
"Di Indonesia," kata dia,"rata-rata dari kita termasuk baru melek tentang apa saja hal-hal yang menyebabkan suatu karya ilmiah dianggap plagiat. Sudah ada sejumlah orang yang tertangkap melakukan hal itu bahkan justru dari kalangan akademisi."
Dalam rangka menggiatkan dosen dan mahasiswa untuk lebih banyak menghasilkan karya ilmiah, salah satu tantangan besarnya adalah menghindarkan plagiarisme.
"Para dosen dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan cukup cermat dan sigap dalam menyosialisasikan cara-cara mengenali plagiarisme," kata Dinna.
Antiplagiarisme harus terus disosialisasikan karena sikap ini merupakan bagian dari pembentukan karakter rakyat lewat dunia pendidikan. Dan, kejujuran adalah satu hal yang terpenting.
(M016/D007)
Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013