Gara-gara Sardin, JKN jamah Badui Dalam

12 Juni 2023 18:02 WIB
Gara-gara Sardin, JKN jamah Badui Dalam
Sardin berpose memperlihatkan kartu JKN sebagai syarat keperluan berobat di RSCM Jakarta saat kakinya mengalami kelumpuhan. Ia hadir dalam agenda perekaman e-KTP di Pendopo Binong, Kabupaten Lebak, Banten, Sabtu (10/6/2023). ANTARA/Andi Firdaus
Hingga setahun lalu, pantang bagi penduduk Suku Badui Dalam menggantungkan nasib kepada orang lain di luar kesepakatan adat, bahkan untuk urusan nyawa sekalipun. Tak terkecuali tawaran Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang hampir satu dekade terakhir dikelola BPJS Kesehatan.

Sudah menjadi pilihan bagi 1.400 jiwa penduduk Suku Badui Dalam yang kini menghuni Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten, untuk mengasingkan diri dari dunia luar. Mereka tumbuh sebagai kelompok mandiri lewat kepercayaan leluhur, Selam Sunda Wiwitan.

Kepercayaan pada Tuhan YME itu, salah satunya menjunjung prinsip untuk hidup harmonis bersama alam. Mereka percaya, kekayaan flora dan fauna menjamin seluruh kebutuhan siklus hidup, termasuk segala macam penyakit yang mendera, karena alam pun menyediakan penawarnya.

Tapi siapa sangka jika seorang bocah yang mengalami lumpuh total, justru membuka sudut pandang baru penduduk Suku Badui Dalam tentang capaian mutakhir ilmu dan teknologi pelayanan medis di Indonesia yang selama ini luput dari jangkauan mereka.

Bocah itu bernama Sardin (11), anak kedua dari empat bersaudara putra pasangan Sanim (59) dan Sani (35). Kisahnya dimulai pada penghujung 2020, niat membantu sang ayah memanggul tumpukan kayu di hutan Pegunungan Kendeng, justru berujung petaka, tubuhnya tiba-tiba lumpuh usai terjatuh.

Sejak itu Sardin tak lagi ceria. Kesehariannya hanya tergolek lemas di peraduan karena benturan keras yang merusak sistem motorik di kepala. Butuh sekuat tenaga bagi Sardin menggerakkan otot rahang demi sesuap makan, pun kedua kakinya lumpuh sehingga harus bertumpu di tubuh orang lain untuk berpindah tempat.

Kondisi itu hanya sedikit kisah yang diceritakan sang ayah, Sanim, saat dijumpai ANTARA di Badui Dalam. "Saya sempat pasrah kepada takdir, kalau Sardin tak akan berumur panjang," katanya.

Perkataan itu diucap Sanim, sebab ikhtiar pengobatan tradisional khas setempat menggunakan pijatan hingga ramuan herbal mengandung rumput, akar, biji-bijian, dan dedaunan yang tumbuh liar di belantara hutan tak kunjung berbuah hasil.

Bagi Sanim, setahun masa penantian adalah waktu yang cukup panjang menyaksikan penderitaan sang anak, hingga akhirnya ia pun mau terbuka kepada Pemerhati Suku Badui dari Mapala Universitas Indonesia Rahmi Hidayati di sela kunjungan persiapan Program Vaksinasi COVID-19 bagi masyarakat desa tertinggal.

Lulusan Magister Manajemen Fakultas Ekonomi UI yang karib dengan Suku Badui itu tak segan membantu. Ia kirim foto Sardin yang sedang terkulai lemas kepada Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin via WhatsApp. "Pak Menkes, kita bisa bantu apa?" katanya.

Di ruang obrolan tersebut, Menkes Budi menyarankan agar pasien segera dibawa ke RSCM Jakarta dan meminta keluarga tak perlu memusingkan biaya, seluruhnya bakal ditanggung pemerintah hingga Sardin pulih.

Januari 2022, Rahmi membawa Sardin beserta perwakilan keluarganya ke Jakarta. Sesuai diagnosa, pasien memerlukan tiga kali rangkaian operasi bedah, mulai dari bagian tenggorokan untuk mengobati tuberkulosis, hingga menyasar bagian tempurung kepala dan tengkuk leher.

Bagian tengkuk disayat sekitar 10 sentimeter untuk pemasangan pen agar tulangnya seimbang, sedangkan pemulihan fungsi motorik dilakukan lewat pembedahan tempurung.

Kemampuan tim dokter spesialis ortopedi dan neurologi yang didukung fasilitas mutakhir di rumah sakit rujukan nasional itu membawa kondisi Sardin berangsur membaik. Untuk kali pertama Sardin bisa kembali menggerakkan kakinya dan berjalan pada Februari 2022.

Total rangkaian perawatan Sardin bergulir selama 3,5 bulan, mulai dari pembedahan sampai rawat jalan.

Setelah dinyatakan pulih, manajemen RSCM mengaku segan menagih rekap pembiayaan perawatan Sardin kepada Menkes Budi. Setelah dilakukan diskusi pencarian solusi, akhirnya disepakati pasien didaftarkan sebagai peserta JKN yang menerima bantuan iuran (PBI).

Tapi syarat administrasi, berupa kartu keluarga (KK) dan KTP tak dimiliki keluarga Sardin. Persoalan itu pun tuntas kurang dari dua pekan, setelah Menkes Budi berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menfasilitasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) bagi keluarga Sardin.


Restu Jaro Adat

Di tengah kebahagiaan menyambut kesembuhan Sardin, ada hal yang sebelumnya tak pernah diduga oleh Rahmi. Bocah yang ia bantu ternyata cucu kedua dari salah satu petinggi Suku Badui Dalam yang bergelar Jaro atau setara kepala desa pemegang mandat urusan adat istiadat.

Sang kakek bernama Nalim (69), tinggal di gubuk panggung pada daratan perkebunan asri yang diapit aliran Sungai Cihujung. Untuk sampai di sana, butuh waktu sekitar 1 jam berjalan kaki menyisir jalan setapak perbuktian dari Desa Binong yang menjadi gerbang menuju Badui Dalam.
Jaro Nalim berpose dengan Sardin di kediamannya kawasan Badui Dalam, Desa Kanekes, Lebak, Banten, Sabtu (10/6/2023). (ANTARA/Andi Firdaus)

Sabtu (10/6), Sardin yang sudah setahun lebih sembuh pun bersedia memandu Rahmi beserta rombongan Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI menuju rumah kakeknya. Sepanjang jalan, hampir seluruh ototnya dapat kembali bergerak, kecuali batang leher yang belum bisa sepenuhnya menekuk karena pengaruh operasi.

Bahagia benar Sardin bergerak lincah memimpin rombongan di baris terdepan. Beberapa kali bocah itu hilang dari pandangan, tertutup ilalang dan pepohonan besar, langkahnya terlalu cepat dari peserta yang lain. "Sardin, jangan cepat-cepat, tunggu kami," teriak Rahmi.

Sesampainya rombongan, Jaro Nalim di kediamannya menyampaikan bahwa segala hal yang dialami Sardin adalah bagian dari ikhtiar Suku Badui Dalam mencari kesembuhan, meskipun sebenarnya campur tangan dokter ditentang oleh hukum adat. Apalagi dia juga dikenal oleh rakyatnya memiliki kemampuan menyembuhkan berbagai penyakit.

Bahkan kemampuannya itu sanggup mendatangkan orang luar kawasan, seperti Bandung, Bogor, Ciamis, untuk berobat atau belajar ilmu mengolah kekayaan flora menjadi obat herbal. Misalnya, buah mengkudu untuk menurunkan panas dalam, campuran jahe, gula merah, dan kencur buat tenggorokan gatal.

Ada juga madu tawon dengan beraneka rasa, seperti manis, pahit, dan asam untuk penambah daya tahan tubuh, hingga campuran cacing tanah kering untuk pengobatan tipus yang diberi nama Obat Tuang Bumi.

Restu untuk sang cucu berobat ke RSCM Jakarta, bukan perkara mudah untuk diputuskan, sebab harus ditebus dengan sanksi mencabut status Sardin sebagai warga Badui Dalam.

Dari rangkaian dialog keluarga, Jaro Nalim pun memberi pemakluman bagi setiap anggota suku yang membutuhkan pertolongan dokter. Supaya tidak melanggar adat, status Sardin pun dicabut, tapi setelah sembuh bisa dikembalikan lagi.

Aturan di dalam suku tidak boleh diobati oleh dokter. Tapi sudah berulang kali diobati secara tradisional tidak mempan. Bagi Nalim, manusia harus berusaha, ini semua gara-gara Sardin.


Antre NIK

NIK ibarat kunci menuju berbagai ruang layanan publik melalui skema pembiayaan dan program yang bersumber dari kocek Pemerintah. Dengan itu, negara pun hadir di tengah masyarakat Badui Dalam untuk memfasilitasi hak pendidikan, kesehatan, hingga bantuan sosial.

Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Lebak Ahmad Nur Muhammad menyebut ikhtiar memenuhi NIK bagi masyarakat Badui telah ditempuh sejak 2018 melalui perekaman massal administrasi kependudukan yang menyasar 5.000 warga Badui Luar dan Badui Dalam.
Masyarakat Suku Badui Dalam mengantre pembuatan NIK di Pendopo Binong, Lebak, Banten, Sabtu (10/6/2023). (ANTARA/Andi Firdaus)


Sebanyak 10 unit alat perekaman dikirim sampai ke kawasan Badui Luar. Lokasi itu dipilih sebab Badui Dalam termasuk kawasan blankspot yang belum terkoneksi jaringan internet.

Hanya beberapa desa saja yang memiliki sinyal kuat lewat dukungan 30 hingga 50 unit alat pemancar sinyal agar perekaman sidik jari, iris, hingga tanda tangan digital yang semuanya berupa file gambar berkapasitas besar terkoneksi ke server pemerintah pusat.

Sampai dengan 31 Desember 2022, sebanyak 5.211 data kependudukan warga Badui berhasil direkam, tapi jumlah itu mencakup keseluruhan warga Desa Kanekes, termasuk Suku Badui Dalam.

Kendala yang dihadapi saat itu adalah keinginan Badui Dalam yang mensyaratkan kepercayaan Selam Sunda Wiwitan tercantum dalam kolom keterangan agama e-KTP. Sementara saat itu hanya tersedia enam keterangan agama yang diakui di Indonesia, yakni Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Pada 10 hingga 11 Juni 2023, program serupa kembali bergulir, kali ini atas permintaan masyarakat Badui Dalam seiring dengan restu Jero Nalim. Permintaan itu difasilitasi Kemenkes RI untuk menyasar 200 penduduk peserta di Pendopo Binong.
Masyarakat Suku Badui Dalam menjalani pemeriksaan kesehatan di Pendopo Binong, Lebak, Banten, Sabtu (10/6/2023). (ANTARA/Andi Firdaus)

​​​​​​Kisah tentang kesembuhan Sardin serta restu Jero Nalim mendorong masyarakat Badui Dalam berbondong-bondong mengantre layanan untuk memperoleh NIK.

Polemik seputar keterangan di kolom agama telah diatasi lewat kebijakan pemerintah yang merangkum seluruh kepercayaan di luar enam agama dengan tulisan Kepercayaan Kepada Tuhan YME, tentunya termasuk Selam Sunda Wiwitan. Petugas juga tidak mempersoalkan coretan berupa garis lurus di kolom tanda tangan yang sebagian dilakukan peserta dengan keterbatasan kemampuan menulis.

Kisah tentang Sardin telah membuka lembar baru relasi Suku Badui Dalam dengan Pemerintah maupun dunia luar yang selama ini enggan dijamah. Hubungan yang terjalin bisa semanis gula merah dan air kelapa yang disuguhkan Jaro Nalim kepada kami saat bersilaturahmi di kediamannya.


​​​​​​​

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023