Eceng gondok ini memberi asa baru bagi sejumlah perempuan di Kelurahan Berua, Biringkanaya, Makassar, sejak 2019. Hasil karya itu, bahkan telah menjadi produk unggulan Kota Makassar dan kini telah merambah pasar internasional.
Dari hasil anyaman eceng gondok, para perempuan di Kota "Anging Mamiri" itu membuka kantong-kantong rezeki bagi perekonomian keluarganya, terlebih bagi mereka yang harus berjibaku sendirian menghidupi anak-anaknya.
Hadirnya para perajin "emak-emak" itu tidak lepas dari hati mulia seorang perempuan asal Toraja bernama Elsa yang telah menjadi perajin eceng gondok sejak 2016, sekaligus memanfaatkannya sebagai peluang bisnis.
Elsa berkisah, ide usaha dari produk berbahan dasar eceng gondok muncul setelah ia mengikuti pelatihan yang diadakan Pemkot Makassar melalui Dekranasda kota itu pada 2016.
Setelah itu, ia sendiri mengambil bahan utama dari rawa-rawa yang kemudian dijemur dan dianyam sendiri.
Sebagai perajin, ilmu yang ia miliki tidak lantas ingin dinikmati sendiri. Tanpa mengenal lelah, Elsa sempat berkeliling ke beberapa pertemuan untuk mengajarkan cara menganyam dari bahan eceng gondok selama dua tahun. Hasilnya? Ternyata tidak langsung sesuai harapan.
Hingga kesempatan meraup peluang bisnis itu datang, kerja kerasnya menggaungkan eceng gondok sebagai tanaman yang bisa menghasilkan uang, kini mulai tampak pada 2019, setelah usaha itu digandeng sejumlah hotel di Makassar.
Memiliki kesempatan, peluang, potensi, dan dukungan merupakan paket komplit yang dibutuhkan siapa saja dalam mengukir masa depan lebih cerah, khususnya bagi para perempuan. Inilah yang mulai dihadirkan Elsa bagi perempuan di sekitarnya.
Visi mulia Elsa mulai terimplementasi dengan merangkul tetangganya dan menciptakan lapangan kerja bagi perempuan sekitarnya.
Apalagi lingkungan tempat tinggalnya, waktu itu masih jauh dari kehidupan sejahtera. Masyarakat sekitarnya berada di level ekonomi menengah ke bawah dengan beragam profesi pekerjaan kasar, seperti buruh bangunan, tukang ojek, tukang becak, hingga tidak sedikit yang tidak bekerja atau hanya pengangguran.
Realitas sosial tersebut sangat menarik perhatian perempuan kelahiran 1978 ini untuk menciptakan peluang kerja guna ekonomi masyarakat sekitarnya jauh lebih baik.
"Dari sana saya berpikir, lebih baik mengajar tetangga menganyam. Selain mudah dikontrol, saya mau kaum perempuan tidak bergantung dengan suami dan bisa memiliki penghasilan sendiri," ujarnya dalam perbincangan dengan ANTARA.
Pembuatan produk kerajinan yang bisa dibuat dari rumah itu, cukup menarik perhatian para perempuan yang didominasi oleh ibu rumah tangga, apalagi mereka tidak harus meninggalkan tugas utama di rumah.
Salah satunya ialah Hafsah, orang tua tunggal yang tidak pernah terbersit di benaknya bakal menjadi perajin. Diakui bahwa secercah harapan mulai menyelimuti masa depannya sejak mengenal kerajinan eceng gondok.
Menggeluti kerajinan eceng gondok telah berhasil membantu perekonomian keluarga, khususnya dalam menopang biaya pendidikan keempat anaknya. Dari hasil anyamannya, Hafsah bisa mengantongi sekitar Rp2 juta per bulan.
Hafsah bersyukur dengan hadirnya sosok Elsa sebagai tetangga yang peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Tidak ada kata bosan menganyam dan terus memotivasi untuk bangkit.
Tantangan
Meski tujuannya mulia, tidak menjamin hasilnya langsung membahagiakan. Inilah yang dirasakan Elsa saat menjalankan misinya untuk memberi manfaat melalui eceng gondok, termasuk saat menawarkan hasil karyanya.
Elsa tidak kenal lelah mengajar dari rumah ke rumah, meski penolakan kerap ditemui atau beberapa dari tetangganya yang tidak lagi berminat menganyam. Hal ini tentu berpengaruh terhadap peningkatan bisnis kerajinan yang dirintis.
Banyak pula di antara perajin yang tidak disiplin terhadap konsistensi pembuatan produk. Perajin yang bekerja dari rumah terkadang juga menjadi bumerang untuk meningkatkan kuantitas produk. Padahal orderan produk eceng gondok terus meningkat dari tahun ke tahun.
Ujian tidak sampai di situ, celaan dan penolakan kepada produk eceng gondok seringkali diterima, namun itu tak lantas menjadikannya terpuruk.
Memotivasi diri sendiri terus dilakukan agar tetap bangkit guna melahirkan perubahan untuk dirinya dan orang-orang sekitar.
Dia masih konsisten untuk tidak berpikir keuntungan, tapi bagaimana bisa memberdayakan lebih banyak orang sekitarnya.
Kendati belum ada yang melirik produknya, Elsa tetap gigih mengikuti berbagai pameran yang diadakan pemerintah maupun pihak swasta. Dari sana, Ia berkesempatan menjadi mitra BRI yang dibina langsung melalui Rumah BUMN BRI di Makassar.
Kesempatan mengembangkan produk kerajinan eceng gondok semakin terbuka. Selain memperoleh edukasi terkait pemasaran produk, peningkatan kualitas produk, hingga membangun mitra usaha, Elsa juga memperoleh modal usaha dari program KUR (Kredit Usaha Rakyat) bank milik Pemerintah itu tanpa agunan.
Berkat Elsa pula, sejumlah perajin yang telah bergabung dalam UMKM Rumah Anyam Mandiri, bisa mengakses KUR tanpa agunan dengan limit maksimal Rp50 juta.
Peluang usaha
Menggunakan bahan baku eceng gondok, rumah anyam itu telah menghasilkan beragam produk, seperti tikar, tempat tisu, tas dengan berbagai ukuran, wadah air kemasan, hingga penutup makanan.
Melalui berbagai upaya promosi, produk kerajinan eceng gondok itu kian dikenal dan diminati oleh para pelancong yang berkunjung ke Kota Makassar. Ada pula yang melakukan pemesanan ulang.
Bukan hanya menyasar wisatawan domestik saat bertandang ke Kota Daeng, hasil karya ibu rumah tangga ini juga telah dipasarkan ke beberapa negara, seperti Vietnam, Mesir, Afrika Selatan, Finlandia, dan Malaysia.
Usaha berhasil mengantongi omzet sebesar Rp30 juta per bulan dan mengupah sekitar 15 perajin serta dua pengepul tanaman eceng gondok.
Produk kerajinan eceng gondok berbentuk tas menjadi primadona dari berbagai hasil karya rumah anyam itu. Tas ini dibanderol dari harga Rp200 ribu hingga Rp250 ribu per satuannya dengan minimal order 100 buah.
Rumah Anyam Mandiri mampu menghasilkan tas sebanyak 300 buah dalam satu bulan, sementara produk lainnya bisa lebih dari itu. Ini lantaran pembuatan tas membutuhkan ketelitian tersendiri dibanding produk lainnya.
Bergantung pada perawatan, produk anyam ini bisa bertahan lebih dari 5 tahun. Sebab, ketahanan produk juga dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Jika tas dalam keadaan lembab, maka harus dijemur agar tidak berjamur.
Ketersediaan bahan baku menjadi tantangan dalam perjalanan bisnis ini. Kendati tanaman eceng gondok melimpah dan mudah ditemukan di Makassar, tetapi pengepul eceng gondok masih jarang dan jumlahnya sedikit, sehingga tidak jarang harus dipenuhi dari Pulau Jawa.
Bukan hanya itu, minimnya SDM atau perajin menyebabkan orderan yang harus diambil terbatas.
Tidak jarang, Elsa dan belasan perajinnya kewalahan menerima orderan. Sehingga, ia harus menggunakan jasa penganyam lain dan kembali membuka pintu rezeki bagi perajin lain untuk sama-sama mengambil peluang agar permintaan tidak terlewatkan.
Meski permintaan dari luar negeri belum bisa diterima dalam jumlah besar, ratusan pesanan telah berhasil dikerjakan bersama belasan perajin lainnya.
Saat ini, rumah anyam juga tengah menyelesaikan orderan dari Pemerintah Kota Makassar sebanyak 300 buah untuk para peserta Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) 2023 yang segera digelar di Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, pada Juli mendatang.
Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Makassar Muhammad Rheza menyebut memanfaatkan momen Apeksi di Makassar dengan menggelar pameran produk UMKM.
Khusus bagi peserta Apeksi 2023 di Makassar, tas eceng gondok ini akan dilengkapi kain sutera khas Sulawesi, dengan tujuan memperkenalkan produk khas dari Sulawesi Selatan.
Meski kerja keras Elsa telah memperlihatkan hasil dengan merangkul perempuan sekitarnya, serta usaha kerajinan eceng gondok yang terus berkembang, tetapi langkah perempuan 45 tahun ini diakui akan terus berlanjut dan tidak akan berhenti memberi manfaat kepada lebih banyak perempuan.
Pewarta: Nur Suhra Wardyah
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023