Indonesia diyakini mampu mencapai target perlindungan keanekaragaman hayati sebesar 30 persen wilayah daratan dan lautan pada 2030 atau “30 by 30”.
“Ya, Indonesia bisa mencapai ’30 by 30’, tetapi masih banyak isu yang perlu diselesaikan,” kata Ahli Konservasi Keanekaragaman Hayati Universitas Indonesia Profesor Jatna Supriatna dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Delegasi Uni Eropa di Jakarta, Senin.
Sejumlah isu yang masih menjadi “pekerjaan rumah” bagi Indonesia, menurut Jatna, antara lain belum ada batasan yang jelas mengenai batas-batas hutan lindung dan hutan produksi—karena itu dibutuhkan instrumen hukum yang lebih tegas.
Selain itu, dia menyoroti perlunya keterlibatan masyarakat sipil dan sektor swasta dalam upaya perlindungan keanekaragaman hayati.
“Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri,” ujar dia.
Baca juga: EU: krisis keanekaragaman hayati tak terpisahkan dari perubahan iklim
Lebih lanjut, Jatna menjelaskan bahwa momentum pasca konferensi keanekaragaman hayati (COP-15), yang digelar di Kunming, China dan di Montreal, Kanada pada tahun lalu, merupakan peluang bagi Indonesia untuk menjadi salah satu pemimpin dalam upaya perlindungan keanekaragaman hayati.
Untuk mencapainya, para pemangku kepentingan harus menjadikan pengetahuan sebagai dasar pembuatan kebijakan dan pengembangan inovasi.
Dia pun menegaskan bahwa kunci dari keberhasilan pencapaian komitmen “30 by 30”adalah keterlibatan masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di kawasan yang kaya akan keanekaragaman hayati.
“Masyarakat yang tinggal di kawasan hutan lindung juga perlu dilibatkan, dan sebaliknya perlindungan keanekaragaman hayati tidak boleh melupakan hak-hak masyarakat setempat dan masyarakat adat,” kata Jatna.
Baca juga: SEAMEO Biotrop: biodiversitas ASEAN bisa jadi kekuatan ekonomi dunia
Baca juga: Lindungi aneka ragam hayati, China larang drone di objek wisata Hunan
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2023