• Beranda
  • Berita
  • Melancong di Medan, icip kopi susu khas hingga wisata masa lalu

Melancong di Medan, icip kopi susu khas hingga wisata masa lalu

2 Juli 2023 14:06 WIB
Melancong di Medan, icip kopi susu khas hingga wisata masa lalu
Kopi susu dan roti bakar sarikaya di Kedai Kopi Sidempuan, Medan. (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)

Kedai kopi yang berdiri sejak tahun 1936 ini tak memiliki papan nama di sekitar bangunannya

Mencicipi kopi dan menengok bangunan bersejarah menjadi kegiatan yang dapat pelancong lakukan kala mengunjungi Kota Medan. Hanya saja, tak semua orang memiliki banyak waktu mengunjungi lokasi-lokasi ikonik kota ini.

Bagi mereka dengan waktu cukup terbatas karena kesibukan namun ingin melipir sejenak ke beberapa lokasi ikonik kota, berikut lokasi yang ANTARA rekomendasikan:

1. Ngopi pagi

Menikmati kopi di pagi hari menjadi kegiatan yang dilakukan sebagian warga Medan khususnya kaum adam. Ada sejumlah kedai kopi di kota itu dari yang mengusung menu dan nuansa kekinian hingga jadul alias jaman dulu.

Lupakan sejenak kedai kopi kekinian dan cobalah melipir ke Jl. Padang Sidempuan, di dekat Jl. Cirebon, untuk menikmati kopi susu di Kedai Kopi Sidempuan atau dikenal sebagai Sami Kedai Kopi.

Baca juga: Menjelajah wisata murah di Pantai Moki Maluku Tengah

Kedai kopi yang berdiri sejak tahun 1936 ini tak memiliki papan nama di sekitar bangunannya, namun pelancong bisa melihat sejumlah orang duduk saling berhadapan untuk menyarap terutama di pukul 07.00 hingga 09.00 WIB.

Biasanya kedai dibuka mulai pukul 04.40 hingga 13.00 WIB. Menu kopi yang tersedia di sana antara lain kopi susu dan kopi hitam, menggunakan perpaduan biji arabika dan robusta yang didapatkan dari Sidikalang, Sumatra Utara, lalu diolah sendiri oleh pengelola kedai.
 
Para pengunjung menikmati kopi pesanan masing-masing di Kedai Kopi Sidempuan, Medan. (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)


Selain kopi, pengunjung juga bisa menikmati roti bakar aneka isi, seperti sarikaya, yang menjadi salah satu terpopuler, atau cokelat, mentega, meses, serta telur setengah matang.

Harga satu cangkir kopi susu di Kedai Kopi Sidempuan dibanderol Rp15 ribu, sementara untuk satu porsi roti bakar Rp12 ribu.

Cobalah memilih meja di trotoar untuk sekadar menikmati suasana pagi Medan, sembari melihat kendaraan lalu lalang termasuk becak motor.
Tampak depan Istana Maimun, Medan. (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)


Baca juga: Vietnam jadi destinasi wisata yang diminati pengunjung Indonesia

Baca juga: Perhatikan lima hal sebelum berlibur di masa perjalanan balas dendam

2. Jadi "tamu" di Istana Maimun

Usai mengisi perut dengan kopi dan roti bakar, sekadar menengok Istana Maimun di Jl. Brigjend Katamso No. 66 bisa menjadi pilihan. Istana ini mulai dibuka pukul 08.00 hingga 17.00 WIB. Khusus hari Jumat, pengunjung disarankan datang sebelum pukul 12.00 atau setelah pukul 13.00 WIB.

Untuk bisa memasuki istana beratap berbentuk limasan atau kubah (dome) yang dulunya dinamai Istana Agung Kota Medan itu, seseorang harus membeli tiket dengan harga Rp10 ribu.

Nantinya, seorang pemandu dihadirkan untuk membantu memberikan penjelasan mengenai seluk beluk istana kepada pelancong sembari mengajak berkeliling istana.

Istana Maimun yang dibangun Sultan Deli IX, Sultan Ma’moen Al-Rasyid Perkasa Alamsyah pada 26 Agustus 1888 - 18 Mei 1891 atas permintaan istrinya itu identik dengan warna bangunan kuning dan hijau. Menurut kepercayaan sultan, warna kuning melambangkan kejayaan dan kemakmuran, sementara hijau untuk Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kawasan istana memiliki luasan sekitar 2.772 m2 dengan 30 ruang di dalamnya. Pelancong hanya bisa memasuki tiga dari 30 ruangan.
Ruangan tengah Istana Maimun, Medan yang juga lokasi sultan mengadakan rapat (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)
Singgasana sultan di ruangan tengah Istana Maimun, Medan yang juga lokasi sultan mengadakan rapat (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)


Ruangan depan atau yang pertama dapat dimasuki pengunjung biasanya untuk digunakan menyambut tamu. Di ruangan ini, terdapat foto istana di tahun 1925.

Selanjutnya, ada ruangan tengah yang digunakan sultan saat mengadakan pertemuan atau rapat. Di sana, terdapat singgasana dengan warna dominasi kuning dan sejumlah lukisan termasuk Sultan Deli IX serta Sultan Deli XIV.

Pengunjung melihat lebih dekat perpaduan nuansa Eropa dan Timur Tengah di bagian dinding, plafon beserta lampu dan kipas angin gantung.

Baca juga: Ide aktivitas seru untuk maksimalkan liburan di akhir bulan Juni

Unsur lokal di sana yakni ornamen motif bunga tembakau di sayap kanan ruangan. Bunga tembakau ini dulunya menjadi salah satu penopang ekonomi masyarakat di Medan.

Sejumlah penjual cendera mata yang tak lain anggota keluarga sultan juga bisa dijumpai di sana. Mereka membuka kedai di sisi kanan maupun kiri ruangan, juga menyewakan busana tradisional Deli.

Selain untuk keperluan rapat, ruangan tengah istana juga digunakan sebagai tempat melangsungkan pernikahan sekaligus lokasi persemayaman anggota keluarga kesultanan sebelum dikebumikan.

Ruangan terakhir yang bisa dimasuki pengunjung yakni ruang makan. Di sana terdapat meja makan besar yang hingga kini masih digunakan, kursi sultan replika dan perhiasan-perhiasan replika kesultanan.

Sementara ruangan sisanya terletak di sayap kanan dan kiri istana dan masih ditempati keluarga sultan. Menurut salah seorang pemandu, ada sekitar 20 kepala keluarga yang tinggal di sana termasuk Sultan Deli XIV yang kini masih berusia 25 tahun.
Tampak depan rumah Tjong A Fie (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)


Baca juga: Rekomendasi destinasi wisata di Jakarta

Baca juga: 5 pilihan destinasi wisata untuk isi libur sekolah

3. Berkunjung ke rumah Tjong A Fie

Rumah Tjong A Fie menjadi salah satu lokasi yang direkomendasikan sebagian warga Medan selama pelancong berada di kota itu dan sore hari masih bisa dikatakan menjadi waktu tepat mengunjunginya.

Tjong A Fie dikenal sebagai sosok yang memimpin komunitas etnis Tiongkok di Medan pada tahun 1911, menggantikan saudaranya yang meninggal dunia.

Rumah Tjong A Fie terletak di Jl. Jend. A. Yani memiliki dua lantai, dengan 35 kamar dibangun pada tahun 1895 hingga 1900 di atas lahan seluas 8000 m2. Rumah ini dijadikan museum sejak tahun 2009.

Seorang pemandu akan mengantarkan pelancong berkeliling rumah bernuansa cukup kental Tingkok dan Melayu yang merupakan hadiah untuk istri ketiga Tjong A Fie dan telah berusia 123 tahun itu.

Sembari mendengarkan penjelasan pemandu, pelancong bisa sekaligus mengabadikan gambar diri maupun suasana ruangan.

Dia akan mengingatkan pengunjung mengenai empat lokasi yang tidak boleh diambil gambarnya namun tetap bisa dilihat yakni ruang galeri, ruang persembahyangan dewa dan leluhur serta kamar Tjong A Fie.

Lantai pertama rumah terdiri dari ruangan-ruangan besar dengan dinding berpanel kayu yang diukir dalam gaya China untuk menerima tamu-tamu Tjong A Fie. Pada salah satu ruangan, terdapat foto keluarga Tjong A Fie bersama istri ketiga, anak-anak serta cucu dan sepupu istri keduanya.

Baca juga: Isi liburan sekolah dengan berwisata ke surga domestik
 
Pengunjung melihat salah satu ruangan di lantai pertama rumah Tjong A Fie (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)
Halaman terbuka di lantai pertama rumah Tjong A Fie (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)


Selain itu, ada juga kamar mendiang Tjong A Fie berisi tempat tidur yang terbuat dari kayu mahoni.

Halaman terbuka di bagian tengah rumah akan menyapa pengunjung. Dulunya, halaman ini bermanfaat untuk menghirup udara segar sekaligus dipercaya menambah rezeki. Di halaman terbuka ini biasanya para pelancong mengambil foto diri mereka.

Ruangan lain dalam rumah yang bisa dilihat yakni perpustakaan yang semula menjadi ruangan kerja cucu dari anak keempat Tjong A Fie dan dapur dengan sejumlah perkakas asli.

Sementara pada lantai dua bangunan, pengunjung bisa melihat ruang dansa keluarga pada hari-hari besar dan pesta.

Rumah Tjong A Fie dibuka untuk umum setiap hari pukul 09.00 - 17.00 WIB dengan harga tiket Rp35 ribu per orang.

Kala lapar melanda, tak jauh dari sana terdapat restoran terkenal di Medan, Tip-Top, yang menyediakan sederet menu dan salah satu yang direkomendasikan warga setempat yakni hidangan bistik.

Baca juga: Mengulik warung bergaya Bali klasik dengan sistem bayar seikhlasnya

Baca juga: Pantai Temajok jadi destinasi wisata batas negeri

Baca juga: Jejak sejarah Menumbing dan asa sejahtera

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2023