"Dan selain terjadi pada orang tua, masalah lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah gangguan pendengaran akibat paparan bising, infeksi dan sumbatan kotoran telinga juga banyak ditemukan pada anak usia sekolah," katanya.
Ia mengatakan, sosialisasi tentang masalah kesehatan telinga masih harus ditingkatkan, termasuk mengenai batasan kebisingan yang masih dapat ditoleransi.
"Misalnya kalau kita mendengarkan musik dengan kekuatan kurang dari 90 desibel, itu amannya maksimum dua jam. Kalau keras hingga 120 desibel, itu gak boleh lebih dari 10 detik. Yang aman itu adalah kurang dari 80 desibel," katanya.
Ghufron juga menyuarakan kekhawatirannya mengenai kesehatan telinga pada anak sekolah karena gangguan sumbatan kotoran telinga atau serumen prop banyak ditemukan pada anak-anak usia sekolah.
Menurut hasil survei cepat Profesi Perhati dan Departemen Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di beberapa sekolah di enam kota di Indonesia, prevalensi serumen prop pada anak sekolah antara 30 persen sampai 50 persen.
"Sumbatan serumen dapat mengakibatkan gangguan pendengaran sehingga akan mengganggu proses penyerapan pelajaran bagi anak sekolah," katanya.
"Mari kita jaga kesehatan pendengaran dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat serta menghindari pendengaran dari kebisingan serta melakukan pemeriksaan atau deteksi dini adanya gangguan pendengaran," kata dia.
Hari Kesehatan Telinga dan Pendengaran Sedunia diperingati tiap tanggal 3 Maret untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kesehatan telinga dan pencegahan gangguan pendengaran.
Konferensi internasional pertama tentang pencegahan dan rehabilitasi gangguan pendengaran yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Rehabilitasi Anak Tuna Rungu Cina, Federasi Orang Cacat Beijing, dan WHO di Beijing, menetapkan 3 Maret sebagai Hari Kesehatan Telinga dan Pendengaran tahun 2007.
Tanggal 3 Maret dipilih karena bentuk angka tiga mirip dengan bentuk telinga.
(A043)
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013