Direktur Utama Pupuk Kaltim Rahmad Pribadi mengatakan, program inovasi kitosan cair berawal dari cukup tingginya produksi limbah hasil laut berupa sisa cangkang di kawasan pesisir Kota Bontang, Kalimantan Timur.
Pupuk Kaltim pun mengambil peran mengubah pola pikir masyarakat dengan menggencarkan edukasi untuk mendorong kesadaran bersama, agar mengelola limbah dengan lebih bertanggung jawab.
"Sesuai dengan komitmen Environment, Social and Governance (ESG), Pupuk Kaltim pun berupaya mengubah pola pikir masyarakat agar lebih bertanggung jawab dalam mengelola limbah, serta tidak membuang sisa hasil tangkapan kembali ke laut," kata Rahmad melalui keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Rahmad menyampaikan, salah satu hal yang menjadi tantangan dari budaya membuang limbah ke laut lantaran sulitnya pengelolaan, serta tidak adanya potensi pengembangan produk lain dari hasil buangan tersebut.
Baca juga: Pupuk Kaltim edukasi pemupukan berimbang kepada petani di Ponorogo
Hal ini pun akhirnya melahirkan inovasi kitosan cair, yang dikembangkan Pupuk Kaltim melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), dengan memanfaatkan limbah kepiting dan rajungan yang setiap hari bertumpuk untuk dibuang.
Pengembangan inovasi ini dimulai sejak 2018, dengan membentuk Kelompok Cangkang Salona di kawasan pesisir Selambai Kelurahan Loktuan. Kelompok ini memberdayakan ibu rumah tangga hingga pemuda setempat, untuk melakukan pemilahan cangkang kepiting dan rajungan sebelum diolah menjadi kitosan cair.
Secara bertahap kelompok binaan diberikan pendampingan dan pembekalan keterampilan dalam mengelola limbah kepiting dan rajungan, untuk selanjutnya diolah menjadi produk kitosan. Mulai dari cara memilah limbah, manajemen usaha hingga pelatihan produksi dan pemasaran.
Baca juga: Pupuk Kaltim: Penerapan ESG harus jadi prinsip hidup suatu bisnis
"Prosesnya berjalan dua tahun lebih, menggandeng berbagai instansi maupun rumah produksi serupa di Indonesia. Langkah ini secara tidak langsung turut meningkatkan komitmen dan kesadaran masyarakat, hingga perlahan berdampak terhadap intensitas pembuangan limbah ke laut yang semakin ditekan," ujar Rahmad.
Guna memaksimalkan program, Pupuk Kaltim menyiapkan infrastruktur pengolah yang mulai berproduksi sejak 2021. Dalam satu bulan, rumah produksi ini mampu mengolah 150 kilogram limbah rajungan dengan hasil rata-rata 60 kilogram berbentuk kitin. Dari total tersebut dihasilkan sekira 40 liter kitosan.
Produk ini juga sudah mendapat paten berupa penambahan asam asetat (CH3COOH) sebagai pelarut kitosan menjadi pupuk cair, serta izin UKL-UPL dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bontang untuk aktivitas produksi.
Pupuk Kaltim pun melibatkan berbagai pihak pada proses pengujian efektivitas kitosan, seperti Laboratorium Pengujian Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia (LP-PBBI) dan Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda.
Hingga kini, kelompok Cangkang Salona telah mereduksi limbah cangkang rajungan hingga 920 kilogram. Hal ini menjadi salah satu pencapaian besar dalam mengurangi limbah sampah rajungan di perairan Kota Bontang.
Produk pupuk cair dengan merek dagang "Kitosan Salona" tersebut juga telah lulus uji kualitas, serta dinilai efektif mendorong produktivitas pertumbuhan tanaman mulai awal pertumbuhan, termasuk mampu mengurangi intensitas hama dan penyakit.
Kelompok Cangkang Salona sendiri telah disiapkan menjadi produsen pupuk kitosan cair skala industri rumahan, sebagai bentuk nilai tambah bagi masyarakat dan lingkungan.
Pewarta: Maria Cicilia Galuh Prayudhia
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2023