"Kita tetap investasi 5G, tapi, investasi kita di 5G benar-benar harus cermat, tepat dan akurat," kata Wakil Direktur Komunikasi Korporat Telkomsel Saki Hamsat Bramono kepada jurnalis di Denpasar, Bali, Rabu.
Sebelum menggelar 5G di suatu wilayah, Telkomsel biasanya mengkaji populasi penduduk, average revenue per user (ARPU) atau pendapatan per pengguna yang bisa didapat perusahaan dan penetrasi ponsel 5G di wilayah tersebut.
Telkomsel saat ini mempertimbangkan ARPU di atas Rp200.000 dan penetrasi perangkat 5G di wilayah tersebut mencapai 75 persen sebelum menggelar 5G.
"Kalau kita lihat dari sisi bisnisnya oke di daerah tersebut, baru kita (gelar 5G). Kita tidak asal pasang, benar-benar kita terukur sekali. Bertahap," kata Saki.
Baca juga: Telkomsel optimalkan layanan purnajual digital
Saki menilai pertimbangan bisnis masih menjadi perhatian operator seluler agar investasi yang dikeluarkan sepadan dengan imbal hasil yang diperoleh.
"Jangan sampai investasi yang kita keluarkan tidak ada return of investment atau breakeven point lama," kata Saki.
Misalnya, ketika suatu wilayah penetrasi gawai 5G tinggi, namun, dari segi pendapatan kurang menjanjikan, maka operator belum tentu menggelar jaringan radio generasi terbaru di wilayah tersebut.
Saat ini setidaknya Telkomsel memiliki 280 menara base transceiver station (BTS) 5G yang tersebar di seluruh Indonesia sejak peluncuran layanan 5G komersial dua tahun yang lalu.
Ketika disinggung mengenai target penambahan 5G tahun ini, Saki mengatakan target tidak banyak dan tetap mengacu pada pertimbangan-pertimbangan tersebut.
Penggunaan internet broadband (pita lebar) dari segi konsumsi data di Indonesia, termasuk 4G dan 5G, saat ini masih didominasi aplikasi streaming video, yaitu TikTok dan YouTube.
Baca juga: "Telkomsel One" hadir, Orbit dan IndiHome tetap tersedia
Baca juga: Telkomsel resmi luncurkan "Telkomsel One" untuk pelanggan di Indonesia
Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2023