"Kelompok jabatan fungsional guru dan dosen sangat rentan turut serta dalam kancah politik praktis," kata Arie membacakan naskah keynote speech atau pembicara kunci Ketua KASN Agus Pramusinto dalam webinar netralitas ASN bertema "Mencegah Politisasi Sekolah dan Kampus dalam Pemilu dan Pemilihan tahun 2024"" dipantau secara daring di Jakarta, Kamis.
Sebab, kata dia, kelompok jabatan ASN yang paling banyak ditemukan melakukan pelanggaran netralitas pada Pilkada Serentak 2020 adalah jabatan fungsional. Di mana, kelompok jabatan guru dan dosen menjadi kelompok jabatan fungsional yang terbanyak melakukan pelanggaran dibandingkan dengan jabatan fungsional lainnya yakni sebesar 70 persen.
Dia menuturkan bahwa jenis pelanggaran netralitas yang banyak dilakukan kelompok guru dan dosen adalah kampanye/sosialisasi media sosial (34,9 persen); mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan (27,8 persen); foto bersama bakal calon/pasangan calon (14,5 persen); dan menjadi peserta kampanye dengan memakai atribut partai/atribut PNS/tanpa atribut (4,5 persen).
Baca juga: KASN: Camat dan lurah rawan politisasi di tahun politik 2024
Baca juga: Ketua KASN sebut korupsi jabatan cederai reformasi birokrasi
"KASN juga menemukan bahwa pelanggaran di kalangan dunia pendidikan selain dilakukan secara personal, juga memiliki kecenderungan bersifat terstruktur. Di mana, mobilisasi dukungan dilakukan oleh pejabat struktural atau kepala sekolah," paparnya.
Arie juga menyebut bahwa guru dan dosen merupakan pasar yang sangat potensial untuk kepentingan pendulangan suara dalam kontestasi politik, sebab berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah guru dan dosen pada tahun ajaran 2022/2023 sebanyak 4.559.390 orang.
Menurut dia, terdapat dua faktor yang mendorong guru dan dosen melakukan pelanggaran netralitas, yakni faktor ikatan persaudaraan antara guru dan dosen dengan calon peserta pemilu dan pemilihan. Lalu, adanya kepentingan pragmatis pada sebagian kalangan guru untuk berpindah ke jabatan struktural tertentu.
"Sementara di kalangan dosen, ada keinginan untuk mendapatkan posisi pada struktural kampus atau jabatan lain yang tersedia di luar kampus, baik pada struktur pemerintahan maupun swasta," ujarnya.
Untuk itu, dia berharap para dosen tidak terseret menjadi tim sukses pemenangan politisi tertentu. Sebaliknya, menjadikan keahlian yang dimilikinya sebagai sumber substansi gagasan dan pijakan kajian bagi para politisi, sehingga siapapun kontestan yang menang maka substansi gagasan akan diterjemahkan menjadi kebijakan publik.
"Para tenaga pendidik baik guru atau dosen tidak dibenarkan menjadi bagian dari dewan pakar atau tim pemenangan peserta pemilu dan pemilihan," kata dia.
Dalam webinar tersebut, hadir pula sejumlah narasumber lainnya. Di antaranya, Inspektur IV Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Subiyantoro; Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Wawan Mas’ud; dan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati.
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023