• Beranda
  • Berita
  • Kemenperin pertimbangkan beri tambahan insentif untuk mobil "hybrid"

Kemenperin pertimbangkan beri tambahan insentif untuk mobil "hybrid"

8 Agustus 2023 22:16 WIB
Kemenperin pertimbangkan beri tambahan insentif untuk mobil "hybrid"
Dirjen ILMATE Kemenperin Taufiek Bawazier (kedua kanan), Pengamat Otomotif LPEM Universitas Indonesia Riyanto (kanan) dan Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara (kedua kiri) dalam diskusi Forwin bertajuk “Otomotif, Ujung Tombak Dekarbonisasi Indonesia” di Jakarta, Selasa (8/8/2023). (ANTARA/Ade Irma Junida)
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengaku tengah mempertimbangkan untuk memberi tambahan insentif bagi mobil hybrid atau hybrid electric vehicle (HEV) karena mampu mengurangi emisi karbon hingga 49 persen berdasarkan perhitungan emisi dari tangki bensin ke knalpot.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Taufiek Bawazier mengatakan dasar pemberian insentif adalah emisi karbon yang dikeluarkan HEV, di mana semakin rendah emisi, maka mobil hybrid layak diberikan insentif, kendati bentuknya belum dirumuskan.

“Sebetulnya kami sudah inisiasi, analisis ke depan sampai 2060 itu adalah carbon reduction artinya yang diukur adalah sampai berapa besar industri atau manufaktur menghasilkan suatu produk yang mampu menurunkan emisi karbon,” katanya dalam diskusi Forwin bertajuk “Otomotif, Ujung Tombak Dekarbonisasi Indonesia” di Jakarta, Selasa.

Taufiek menyebut jika jenis kendaraan tertentu mampu menurunkan emisi karbon dari ambang batas yang ditentukan, maka kendaraan tersebut harus mendapatkan reward atau insentif.

Hal itu serupa dengan yang diterapkan di Eropa di mana ambang batas pengurangan emisi yaitu 95 gram per km. Adapun di Indonesia saat ini, menurut Taufiek, sudah ada model HEV dengan pengurangan emisi mencapai 75 gram per km.

Taufiek mengatakan untuk bisa menerapkan pemberian insentif bagi mobil hybrid, pemerintah perlu melakukan semacam survei untuk mendata setiap produk untuk kemudian menentukan ambang batas rata-rata yang bisa digunakan sebagai acuan penurunan emisi.

“Kami tidak tahu persis perusahaan A, B, C, D, produknya maka kita perlu sensus setiap produk perusahaan A, B, C, D, dia punya produk apa dan average threshold yang bisa kita gunakan untuk nasional itu seperti apa dan kita benchmark dengan negara lain,” katanya.

Menurut Taufiek, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah, baik mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) mobil hybrid (HEV) atau pun Plug In Hybrid Electric Vehicle (PHEV) sudah mendapatkan insentif.

“Kalau lihat dari animonya, mungkin kita harus berikan hybrid, tapi pemberiannya itu ada dasar. Dasar memberikan saya kira (berdasarkan) karbon. Tapi perlu cara memberikan yang tepat supaya kita tidak diprotes memberi subsidi ke orang kaya dan macam-macam,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Pengamat Otomotif LPEM Universitas Indonesia Riyanto menyebut saat ini menjual satu unit BEV lebih sulit ketimbang dua unit HEV. Padahal pengurangan emisi dua unit HEV disebutnya setara dengan pengurangan satu unit BEV.

“Saat ini, BEV mendapatkan insentif BBN dan PKB. Saya kira ini bisa dipertimbangkan ke "hybrid" karena bisa mengurangi emisi sampai 50 persen. Jadi, mobil hybrid layak mendapatkan tambahan insentif,” katanya.

Baca juga: Pemerintah Pertimbangkan Insentif Bagi Mobil Hybrid
Baca juga: Pengembangan Mobil Hybrid Butuh Insentif Pajak


Menurut Riyanto, mobil hybrid  lebih cocok digunakan di era transisi menuju netralitas karbon pada 2060. Pasalnya, harga mobil listrik masih tinggi di kisaran Rp600-700 juta yang pasarnya masih sangat kecil.

Dengan anggaran Rp200-300 juta, maka besar kemungkinan konsumen akan lebih memilih mobil konvensional berkapasitas tujuh penumpang.

Sementara itu, harga mobil hybrid berkapasitas tujuh dan lima penumpang saat ini lebih mendekati harga mobil konvensional sehingga dinilai bisa diandalkan untuk mengurangi emisi di era transisi.

“BEV memang bisa menurunkan emisi sesuai target pemerintah. Akan tetapi, bisakah volume penjualan BEV sesuai target pemerintah untuk mengurangi emisi?” katanya.

Senada, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara menyebut pengembangan EV memang digadang-gadang sebagai salah satu upaya untuk menuju net zero emission.

“Namun, menuju net zero emission tidak semata hanya menggunakan EV. Untuk EV pun ada tahapan, pilihan yang disediakan mulai dari HEV, PHEV hingga BEV dan alternatif lain seperti fuel cell electric vehicle,” katanya.

Pada 2021, Gaikindo mencatat penjualan BEV dan HEV tidak begitu signifikan karena pola adopsi masyarakat terhadap elektrifikasi kendaraan yang masih rendah. Adapun pada 2022, penjualan kendaraan elektrifikasi melonjak mencapai 10 ribu unit dan diperkirakan akan terus meningkat.

Namun, kata Kukuh, masyarakat Indonesia sangat sensitif terhadap harga sehingga selama harga masih terjangkau, konsumen akan membeli. Hal itu akan sangat memengaruhi produktivitas industri.

Kendati tumbuh signifikan, perkembangan EV, kata dia harus dibarengi dengan penyediaan pilihan-pilihan bagi masyarakat lantaran tujuan utama yang disasar adalah penurunan emisi.

Kukuh menyebut selama ini Indonesia sudah mengenal etanol, biofuel, dan biosolar.

“Menuju net zero emission atau dekarbonisasi tidak semata bergantung pada EV tapi di Indonesia kita ada beberapa pilihan yang lain,” kata Kukuh.


 

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2023