Kebijakan bea masuk untuk produk-produk jadi dari luar ini juga harus kita liat lagi. Kalau tidak produk lokal tidak bisa lebih besar. Tadi saya liat sendiri harganya tidak masuk akal, sudah ada predator pricing itu memang karena kita terlalu longgar
Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki mengatakan akan berkoordinasi dengan Menteri Perdagangan untuk mengkaji ulang bea masuk barang impor usai menerima audiensi sekitar 40 pemilik usaha lokal yang berjualan di platform online.
“Kebijakan bea masuk untuk produk-produk jadi dari luar ini juga harus kita liat lagi. Kalau tidak produk lokal tidak bisa lebih besar. Tadi saya liat sendiri harganya tidak masuk akal, sudah ada predator pricing itu memang karena kita terlalu longgar, pasar kita terlalu longgar, sehingga barang mereka bisa masuk ke sini dengan harga semurah-murahnya,” kata Teten saat konferensi pers di Kantor Kemenkop UKM, Jakarta, Senin.
Teten menyampaikan bahwa pemerintah harus melindungi produk dalam negeri agar tidak kalah saing dengan produk dalam negeri karena negara di luar melakukan hal yang serupa.
Dicontohkannya, untuk mengirim pisang ke luar negeri saja, eksportir harus melengkapi 21 jenis sertifikat. Sedangkan di pasar Indonesia, terutama online, harga produk impor lebih murah dibandingkan produk serupa buatan lokal. Padahal, produk impor membutuhkan biaya transportasi dan bea masuk yang seharusnya membuat harga produk impor lebih mahal.
“Bea masuk untuk produk-produk impor kita harus liat lagi karena kalau kita terus menerus beri karpet merah untuk produk-produk impor tanpa memperhitungkan persaingan yang tidak fair dari yang dalam negeri, habis produk UMKM,” ucapnya.
Co-Founder pakaian lokal Jiniso, Dian Fiona, menyampaikan bahwa pelaku usaha dalam negeri haris membayar beraneka pajak yang turut ditambahkan dalam harga barang. Sedangkan, penjual dari luar negeri yang memanfaatkan platform cross border seperti TikTok Shop, tidak dikenakan biaya masuk sehingga membuat harga produk impor lebih murah dibandingkan produk dalam negeri.
“Saya yakin juga mereka belum sempurna di pembayaran pajaknya. Saya tidak bisa bilang dia belum bayar pajak itu bukan kapasitas saya, tapi kalau saya sebagai pebisnis saya hitung-hitungan itu tidak masuk akal kalau dia belum dibebankan biaya-biaya itu,” tuturnya.
Akibat lemahnya bea masuk produk impor dan kebijakan pajak yang belum jelas, Dian mengaku terdapat perbedaan harga hingga 30 persen antara produknya dengan produk serupa buatan luar negeri.
Meski kualitas produk lokal lebih bagus, lanjutnya, masyarakat awam akan cenderung memilih produk luar negeri karena harga yang ditawarkan lebih murah.
“Sebenarnya dia impor tidak masalah karena bayar bea cukai dan lain-lain. Cuma, kurang ketat. Kedua, begitu distribusinya maju ke TikTok dan segala macam, itu dikenakan pajak atau tidak? kalau dikenakan pajak sama seperti kita adil, mereka tidak akan banting harga karena tidak akan bisa dibanting,”’jelasnya.
Senada, founder produk kesehatan Indonesia berbasis sarang burung walet, Real Food, Edwin mengaku produk luar negeri serupa dijual lebih murah akibat belum adanya regulasi yang tepat. Sedangkan, ketika ia mencoba untuk mengekspor produknya ke luar negeri dikenakan biaya yang cukup tinggi.
“Harapannya ke depan bagaimana kita Indonesia bisa meregulasikan sesuatu yang lebih baik. Sehingga produk-produk yang akan masuk ke Indonesia itu bisa bersaing dengan produk lokal karena sama halnya dengan produk Indonesia yang akan diekspor yang kita itu juga akan dikenakan biaya biaya yang cukup tinggi sehingga kita harus bersaing dengan sangat baik dengan produk yang ada di luar,” kata dia.
Baca juga: Teten tak setuju pencantuman "positive list" di Permendag 50/2020
Baca juga: KemenKopUKM suguhkan transformasi UMKM di Hari UMKM Nasional
Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2023