"Tingginya angka kejadian kanker serviks di Indonesia dipengaruhi oleh cakupan skrining yang masih rendah," katanya dalam keterangan di Jakarta, Sabtu.
Junita mengungkapkan data dari Profil Kesehatan Indonesia tahun 2021, kanker serviks menempati peringkat kedua setelah kanker payudara, yaitu sebanyak 36.633 kasus atau 17,2 persen dari seluruh kanker pada wanita.
Jumlah tersebut, kata dia, memiliki angka mortalitas yang tinggi sebanyak 21.003 kematian atau 19,1 persen dari seluruh kematian akibat kanker.
Hingga tahun 2021, sambungnya, hanya 6,83 persen perempuan usia 30–50 tahun yang menjalani pemeriksaan skrining dengan metode IVA, sedangkan pada tahun 2023, cakupan skrining kanker serviks di Indonesia hanya mencapai 7,02 persen dari target 70 persen.
"Apabila tidak ditangani dengan efektif, angka kanker serviks meningkat dan menyebabkan beban sosio-ekonomi yang besar serta penurunan kualitas hidup individu," tegasnya.
Junita memaparkan upaya Indonesia dalam percepatan pencegahan kanker serviks berkaitan dengan lima pilar transformasi sistem kesehatan yang mencakup transformasi layanan primer, layanan rujukan, sistem pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia (SDM) kesehatan, dan teknologi kesehatan.
Kelima pilar tersebut, kata dia, dapat mendukung dua strategi pencegahan kanker serviks, yaitu pencegahan primer dengan imunisasi vaksin Human Papillomavirus (HPV) dan pencegahan sekunder dengan deteksi dini kanker serviks.
Menurutnya, Metode skrining dan pendekatan pencegahan yang inovatif perlu dikembangkan agar lebih efektif, terjangkau, dan mudah diakses.
Oleh karena itu, dia mengusulkan agar pemerintah menggunakan metode skrining tes DNA HPV, yang sudah digunakan di beberapa negara maju karena lebih efektif dalam mendeteksi lesi prakanker dengan sensitivitas pemeriksaan DNA HPV yang sangat tinggi, yaitu 80–98 persen, dan dapat diambil melalui sampel urine.
"Pemeriksaan dengan sampel urine ini dapat mengakomodasi pasien yang belum terskrining karena berbagai faktor penghambat," tutur Junita.
Mengingat kanker serviks memiliki dampak yang luas, menurut Junita, diperlukan regulasi yang lebih tegas, yang mengharuskan perempuan memeriksakan diri secara rutin.
"Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, rumah sakit, puskesmas, organisasi profesi, serta masyarakat menjadi sangat penting demi terwujudnya kesehatan dan kualitas hidup yang lebih baik bagi perempuan Indonesia,” kata Prof. Dr. dr. Junita Indarti.
Baca juga: Kemenkes canangkan perluasan imunisasi HPV secara nasional
Baca juga: Bio Farma produksi 3,1 juta dosis vaksin HPV Nusagard
Baca juga: PAPDI ingatkan vaksin HPV penting untuk mencegah kanker serviks
Pewarta: Sean Filo Muhamad
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2023