Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari menepis anggapan komisinya menggelar beberapa kali rapat pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) secara tertutup lantaran ingin mempertahankan “pasal karet”.Jadi rapat ditutup bukan untuk tujuan gimana-gimana, bukan, tapi untuk melindungi agar tidak disalahgunakan pembahasan dalam rapat itu
“Jadi saya mohon maaf (beberapa kali dilakukan tertutup) karena ada sebagian salah persepsi ini mau anu, mau mempertahankan ‘pasal karet’, enggak ada, kita justru semangat bagaimana tidak terjadi pasal yang sering dikatakan ‘pasal karet’ itu,” kata Abdul dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) untuk mendengarkan masukan mengenai revisi UU ITE, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.
Sebaliknya, dia menjelaskan bahwa Komisi I DPR RI beberapa kali melangsungkan rapat pembahasan revisi UU ITE karena sedang mencoba menguji pasal-pasal yang hendak direvisi dengan sejumlah isu sensitif.
“Beberapa kali rapat kita memang kita buat secara tertutup untuk keleluasaan kami membahas, meng-exercise (menguji) dengan isu-isu yang sensitif, yang kiranya kalau misalnya terekam segala macam tidak membuat masalah,” ujarnya.
Sebab, dia mengaku khawatir apabila bahasan revisi UU ITE yang dikaitkan dengan sejumlah isu sensitif menyangkut hal mendetail tersebut dilakukan secara terbuka maka berpotensi memunculkan penyalahgunaan informasi.
“Jadi rapat ditutup bukan untuk tujuan gimana-gimana, bukan, tapi untuk melindungi agar tidak disalahgunakan pembahasan dalam rapat itu, tidak ada perekaman terhadap contoh ini kasus begini, ‘Ayat ini kalau diterapkan ini bagaimana?’, pasti kejaksaan ataupun kepolisian akan, ‘Oh ini contoh kasusnya ini waktu itu begini, begini, begini’, detail. Nah, ini enggak bisa rapat secara terbuka,” tuturnya.
Baca juga: BSSN sebut tugas dan fungsinya belum optimal karena terkendala UU ITE
Baca juga: Komisi I pertimbangkan BSSN terlibat tahap penyidikan pidana ITE
Terlebih, lanjut dia, kondisi saat ini merupakan tahapan jelang Pemilu 2024 sehingga kekhawatiran akan penyalahgunaan informasi yang tidak utuh oleh pihak-pihak tertentu akan semakin rentan.
“Karena misalnya direkam terus dipotong disebarkan mau pemilu lagi, hancur itu nama anggota yang usul misalnya, yang membahas itu. Jadi sifatnya adalah kadang mengambil contoh yang menyebut kasus dan lain sebagainya,” katanya.
Abdul pun menekankan bahwa Komisi I DPR RI dalam melakukan pembahasan revisi kedua UU ITE kali ini berupaya agar norma dan rumusan yang dihasilkan tidak berpotensi menjadi “pasal karet” dan mengulang kembali apa yang telah dilakukan pada revisi pertama UU ITE.
“Undang-undang ini direvisi latar belakangnya adalah munculnya 'pasal karet'. Jadi semangat kita pasti ingin menghilangkan ‘pasal karet’, kita ubah normalnya sehingga tidak menjadi karet lagi karena ada yang menganggap bahwa DPR mempertahankan ‘pasal karet’, enggak ada DPR yang mau mempertahankan ‘pasal karet’ karena kita juga malu kalau bikin undang-undang ternyata karet lagi,” terangnya.
Dia juga berharap usai menerima masukan-masukan, RUU Perubahan Kedua atas UU ITE dapat rampung pada masa persidangan I Tahun 2023-2024 DPR RI kali ini.
“Mudah-mudahan di masa sidang ini kita bisa menyelesaikan revisi undang-undang ITE, revisi yang kedua,” ujar dia.
Dalam RDPU tersebut, Komisi I DPR RI menerima masukan mengenai revisi UU ITE dari sejumlah lembaga, di antaranya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Indonesian E-Commerce Association (idEA), Lembaga Kajian Hukum Teknologi (LKHT) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Pemantau Regulasi dan Regulator Meda (P2R Media), hingga Asosiasi Digital Trust Indonesia (ADTI).
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Indra Gultom
Copyright © ANTARA 2023