Sentralitas ASEAN dan sikap AS-China

7 September 2023 12:48 WIB
Sentralitas ASEAN dan sikap AS-China
Presiden RI Joko Widodo menyampaikan pandangan saat KTT ASEAN-India di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (7/9/2023). ANTARA FOTO/MEDIA CENTER KTT ASEAN 2023/M Agung Rajasa/pras.
Semua negara mitra yang hadir dalam KTT Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) 2023 di Jakarta, pekan ini, mendukung dan menghormati sentralitas Indonesia, termasuk China dan Amerika Serikat.

Sentralitas ASEAN sangat ditekankan oleh negara-negara Asia Tenggara ketika dinamika kawasan dan global mengharuskan blok ini merangkul mekanisme bersama demi menggapai kepentingan bersama.

Piagam ASEAN sendiri jelas menyatakan tujuan utama ASEAN adalah menjaga sentralitas dan peran proaktif ASEAN sebagai penggerak utama hubungan dan kerja sama dengan mitra-mitra eksternal dalam arsitektur kawasan yang terbuka, transparan, dan inklusif.

Konsep sentralitas ASEAN, sebagaimana tertuang dalam ASEAN Outlook on The Indo-Pacific, harus menjadi platform regional yang dominan untuk mengatasi tantangan bersama dan berinteraksi dengan kekuatan-kekuatan di luar kawasan.

Sejak memangku posisi ketua ASEAN 2023, Indonesia menekankan konsep ini kuat-kuat, dan memang kian vital mengingat Asia Tenggara berusaha ditarik ke sana ke mari oleh kekuatan-kekuatan dominan dunia, khususnya China dan Amerika Serikat.

Ironisnya kedua adidaya itu saling menuding berusaha mengkooptasi ASEAN. Kedua negara malah terlihat saling berusaha menghindarkan ASEAN condong ke salah satu di antara mereka.

China terlihat dominan ingin melihat ASEAN melepaskan ikatan dari Amerika Serikat demi menyingkirkan pengaruh negara pesaing utamanya itu, walaupun caranya sangat lembut lewat pendekatan ekonomi.

Sebaliknya, Amerika Serikat terlihat ingin menjadikan ASEAN sebagai benteng menghadapi persaingan China di berbagai front, dari politik dan keamanan, sampai ekonomi.

Di Jakarta, selama rangkaian KTT ke-34 ASEAN, pekan ini, sikap kedua negara kian keras, kendati membungkus sikap keras itu dengan komitmen hubungan yang semakin kuat dengan ASEAN.

Hal itu di antaranya terlihat dari pesan keras yang disampaikan China yang mengingatkan ASEAN agar tidak terprovokasi aktor eksternal sehingga tidak membuat Asia Tenggara menjadi area konflik baru.

Perdana Menteri China Li Qiang bahkan mengingatkan Asia Tenggara mesti menghindarkan "Perang Dingin baru" di kawasan ini. Dalam KTT ASEAN-China kemarin, Li menyatakan semua negara mesti mengatasi perbedaan dan sengketa dengan sewajarnya.

"Saat ini, penting sekali untuk menolak berpihak, konfrontasi blok dan Perang Dingin baru," kata Li dalam KTT ASEAN-China pada Rabu (6/9).

Pernyataan Li adalah penegasan untuk pernyataan tak kalah kerasnya dari Menteri Luar Negeri Wang Yi dalam konferensi yang diadakan sebuah lembaga think tank Indonesia pada 3 September. Saat itu Wang mengingatkan ASEAN agar jangan mau dijadikan pion oleh kekuatan eksternal.


Kini satu level

Wang tak menyebutkan kekuatan eksternal itu, tapi diyakini yang dia maksud adalah Amerika Serikat.

Suara lebih blak-blakan dilontarkan Global Times, media China berbahasa Inggris yang menjadi corong pemerintah China.

China, menurut Global Times, sudah membuktikan diri telah menaruh hormat dan dukungan kepada ASEAN melalui tindakan dan proyek-proyek kerja sama penting seperti pembangunan kereta api kecepatan tinggi.

China saat ini memajukan proposal empat poin untuk makin mendekatkan diri dengan ASEAN, di antaranya lewat kerjasama membangun pusat pertumbuhan ekonomi, memperkuat interkonektivitas, mempererat kerjasama industri dan rantai pasokan.

Itulah sikap positif China terhadap ASEAN, yang menurut Global Times tidak pernah berusaha membentuk platform multilateral baru di kawasan untuk melemahkan posisi ASEAN.

Pernyataan itu adalah sindiran terhadap Amerika Serikat yang disebut Global Times lebih sering beretorika ketimbang mewujudkan komitmen kepada ASEAN dengan langkah-langkah nyata.

Amerika Serikat menolak klaim itu dengan menyatakan sudah berbuat banyak untuk ASEAN dan akan terus begitu. "Amerika Serikat memiliki komitmen jangka panjang terhadap Asia Tenggara dan lebih luas lagi untuk Indo-Pasifik," kata Wakil Presiden Amerika Serikat Kamala Harris, yang datang ke Jakarta menggantikan Joe Biden yang memutuskan absen dan bakal menghadiri KTT G20 di India.

Menurut Gedung Putih, pada tahun anggaran 2024, pemerintahan Biden-Harris mengajukan anggaran senilai 1,2 miliar dolar AS untuk bantuan ekonomi, pembangunan dan keamanan di negara-negara ASEAN, ditambah bantuan 90 juta dolar AS khusus untuk ASEAN guna memperkuat lembaga-lembaga ASEAN.

Harris hadir di Jakarta tepat satu tahun setelah ASEAN meningkatkan level kerjasama dengan Amerika Serikat, menjadi kemitraan strategis komprehensif, yang merupakan level tertinggi dalam hubungan kerjasama internasional.

Hubungan Amerika Serikat-ASEAN kini selevel dengan hubungan ASEAN-China, yang mendapatkan status serupa pada November 2021.

Itu menandakan kedua negara sama-sama memandang vital ASEAN, walaupun dalam KTT ASEAN kali ini para pemimpin puncak mereka --Presiden Joe Biden dan Presiden Xi Jinping-- tidak hadir.

Sekalipun dipandang vital oleh kedua negara yang sama-sama berkontribusi besar kepada ASEAN, blok Asia Tenggara itu tak ingin dipaksa memilih di antara keduanya.

Sebaliknya, ASEAN ingin kedua negara besar itu memahami bahwa kemitraan organisasi kawasan ini dengan mereka terjadi karena satu syarat, bahwa semuanya harus berpusat kepada ASEAN.


Agar semakin padu

Presiden Joko Widodo sendiri, dalam KTT ASEAN-Amerika Serikat ke-11 di Jakarta, kemarin, menegaskan bahwa semua mitra ASEAN harus mendukung sentralitas ASEAN dan menjauhkan persaingan tidak sehat.

Sebaliknya, meminjam pernyataan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, AS dan China harus menunjukkan kepemimpinan dalam mengatasi berbagai masalah global, sehingga kedua negara terus berdialog, membangun kepercayaan strategis dalam semua level dan mengupayakan kerja sama yang lebih besar.

Dengan cara begitu, atmosfer positif semacam itu menciptakan ekosistem yang positif pula bagi ASEAN dan kemudian kawasan lain, serta dunia.

Namun, kadang kala, upaya itu tidak sinkron dengan keadaan di lapangan. Baik ASEAN, China maupun Amerika Serikat, sering memperlihatkan retorika yang tidak sejalan dengan praktik.

Dalam kasus ASEAN, organisasi kawasan ini acap tidak menunjukkan kata yang satu dalam sejumlah masalah, termasuk dalam isu Myanmar dan sengketa Laut China Selatan.

Sebaliknya, Amerika Serikat aktif menggalang blok-blok subregional, yang justru dapat mengikis sentralitas ASEAN, dengan mengintensifkan Quad bersama India, Jepang dan Australia, mewujudkan AUKUS bersama Australia dan Inggris, hingga pakta trilateral bersama Jepang dan Korea Selatan.

Situasi-situasi semacam ini yang membuat China kegerahan untuk kemudian menyebut ada kecenderungan hadirnya "Perang Dingin baru", termasuk di Asia Tenggara.

Ironisnya, China juga aktif memproyeksikan kekuatan militer pada tingkat yang kerap membuat mereka dianggap memprovokasi negara-negara lain, termasuk Indonesia yang tak memiliki persinggungan klaim di Laut China Selatan.

Sikap AS dan China di Asia Tenggara itu sudah dalam siklus aksi dan reaksi, tanpa diketahui siapa yang memulainya.

Tetapi mungkin dalam situasi itu, sentralitas ASEAN malah menjadi semakin penting lagi.

Penting karena konsep itu bisa membuat ASEAN tak terjebak menjadi pion China atau Amerika Serikat, selain menjadi garis merah yang tak boleh dilewati siapa pun, termasuk China dan AS, agar persaingan di antara mereka tidak meluber menjadi konflik terbuka yang merugikan semua pihak.

Bagi ASEAN sendiri, kesadaran untuk terus membumikan sentralitas kawasan dapat mempercepat integrasi ASEAN sehingga organisasi kawasan ini menjadi semakin padu, independen, dan siap menghadapi tantangan-tantangan zaman.

Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023