kemudahan syarat dan pencairan dana yang cepat menjadi alasan debitur untuk menggunakan pinjol ilegal
Kesulitan finansial sering membuat seseorang gelap mata. Bisa jadi, pinjaman online (pinjol) ilegal sebagai jalan pintas untuk mendapatkan uang dalam waktu singkat meski di balik itu ada beban bunga yang mencekik.
Pendapatan kecil, sementara biaya hidup kian tinggi menjadi pemicu para korban terjebak pinjol ilegal. Korban itu dari berbagai kalangan, mulai dari ibu rumah tangga, mahasiswa, pelaku usaha, ASN, hingga pengajar.
Rendahnya gaji yang didapatkan menjadi salah satu penyebab seseorang memilih pinjol ilegal untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun yang lebih memprihatinkan adalah para debitur menggunakan pinjol ilegal untuk memenuhi gaya hidup, seperti membeli barang-barang fesyen, bahkan menghabiskan uang sekadar untuk bersenang-senang.
Situasi tersebut dimanfaatkan oleh pelaku pinjol ilegal sebagai target pasar, dengan menawarkan kemudahan akses dan syarat pengajuan, limit pinjaman tinggi, dan cepatnya proses pencairan dana.
Fasilitas tersebut seakan membuat masyarakat tergiur tanpa mempertimbangkan dampak setelahnya, seperti beban bunga yang besar serta tidak adanya transparansi mengenai hak dan kewajiban debitur kepada kreditur.
Syarat meminjam uang di pinjol ilegal hanya memerlukan foto diri dan KTP. Di balik kemudahan itu, pinjol ilegal mengenakan suku bunga mencekik sehingga peminjam berpotensi terjebak dalam siklus utang yang sulit diatasi.
Sementara syarat meminjam uang di bank konvensional harus menyertakan KTP, penghasilan atau slip gaji, NPWP, rekening koran, buku tabungan, surat keterangan bekerja, serta sertifikat kepemilikan aset sebagai barang jaminan.
Ketentuan tersebut juga berlaku untuk pinjol legal, yang membedakan hanyalah tidak dimintai melampirkan rekening koran dan sertifikat kepemilikan aset sebagai jaminan.
Data Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menunjukkan bahwa bunga yang ditetapkan bank lebih rendah yakni kurang dari 2 persen per bulan.
Pinjol legal atau yang resmi dan diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ditetapkan batas maksimal bunga 0,4 persen per hari atau 12 persen setiap bulan.
Sementara rata-rata bunga di pinjol ilegal 1–4 persen per hari atau mencapai 120 persen dalam sebulan.
Terjebak dalam jeratan pinjol ilegal dirasakan oleh SM (26) yang kini tak bisa lepas dari utang. Perempuan yang bekerja di perusahaan swasta tersebut mengaku awalnya meminjam uang Rp2 juta untuk membayar utang kepada teman kantornya.
Saat itu pencairan dan pembayaran berjalan lancar sehingga dirinya meminjam lagi sebesar Rp20 juta untuk jangka waktu setahun.
Uang tersebut sengaja dipinjam SM untuk memenuhi gaya hidup, lantaran teman-temannya begitu stylish. Berbeda dengan dirinya yang hanya bisa mengenakan pakaian itu-itu saja, tanpa merek terkenal.
Kejanggalan mulai dirasakan SM ketika pencairan dana pinjaman ke rekening tidak sesuai, dari pinjaman Rp20 juta yang dicairkan hanya Rp18,5 juta. Pihak penyedia jasa pinjol ilegal menyebut bahwa potongan itu adalah biaya layanan dan penggunaan situs atau aplikasi.
SM dikenakan bunga sebesar 5 persen dalam sehari atau 150 persen sebulan. Angsuran yang dibayar pun menjadi lebih dari dua kali lipat dari pokok pinjaman.
Pokok pinjaman sebulan yang harus dibayar SM adalah Rp1,6 juta, sementara bunganya mencapai Rp2,4 juta sehingga total angsuran sebesar Rp4 juta.
Telat membayar iuran selama dua hari, SM mendapatkan pesan ancaman dari pihak pinjol ilegal. Mereka menyebut akan menghubungi seluruh kontak di ponsel SM dan menginformasikan bahwa SM berutang puluhan juta rupiah, bahkan mengancam untuk mencelakai SM dan orang-orang terdekatnya.
Ancaman tersebut membuat SM ketakutan sehingga berusaha untuk tidak telat membayar setiap bulan. Bekerja lebih keras dari biasanya, dan meminjam di aplikasi pinjol resmi lainnya dilakukan demi menutupi utang itu.
Meskipun diteror dan dikejar-kejar oknum pinjol, dirinya enggan melapor lantaran tidak mau terlibat dengan kerumitan syarat dan aturan dari pihak kepolisian maupun OJK.
Kerugian meminjam uang melalui pinjol ilegal juga dialami oleh WS (42). Ibu rumah tangga itu menggunakan pinjol ilegal karena harus membayar arisan bulanan yang sudah menunggak selama tiga bulan.
Lagi-lagi kemudahan syarat dan pencairan dana yang cepat menjadi alasan debitur untuk menggunakan pinjol ilegal, termasuk WS. WS meminjam uang Rp1,5 juta untuk jangka pembayaran satu bulan.
Dari pencairan dana itu dirinya dikenakan bunga sebesar 4 persen dalam sehari, atau 120 persen sebulan. Dengan demikian WS harus membayar dua kali lipat lebih dari pokok pinjaman.
WS pun terpaksa menjual perhiasan emas yang dimilikinya untuk melunasi utang tersebut dan tidak menunda-nunda pembayaran. Ia mengaku tak mau menjadi korban pinjol ilegal yang diancam seperti informasi yang beredar di media massa.
Perangi pinjol ilegal
Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (PAKI) OJK terus mengupayakan penanganan yang masif dalam memberantas pinjol ilegal. Salah satunya dengan memblokir akses dan melakukan take down aplikasi yang sempat lolos di Playstore maupun media sosial.
Jumlah entitas pinjol ilegal sejak tiga tahun terakhir telah menunjukkan penurunan yang konsisten. Pada 2020 OJK berhasil memblokir 1.026 platform pinjol ilegal, angka tersebut turun menjadi 811 di 2021, dan semakin rendah pada 2022 yakni 698.
Namun pada 2023, situs pinjol ilegal kembali menjamur. Data OJK sejak Januari hingga awal September menunjukkan bahwa telah terdapat 1.139 situs pinjol ilegal yang diblokir. Jumlah itu mendekati puncak pemblokiran pada 2019 yang mencapai 1.493.
Adapun total pemblokiran pinjol ilegal yang dilakukan Satgas PAKI bekerja sama dengan tim Cyber Patrol Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) sejak 2017 hingga 4 September 2023 sebanyak 5.753 entitas.
Hadirnya Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) Nomor 4 Tahun 2023 yang telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 12 Januari 2023 menjadi tonggak baru reformasi regulasi sektor keuangan di Indonesia, termasuk pemberantasan keuangan ilegal.
Larangan dan ancaman sanksi terhadap pelaku yang menyelenggarakan jasa keuangan tanpa mengantongi izin OJK diatur secara khusus pada Pasal 237 dan 305 UU P2SK.
“Sebelumnya tidak ada delik khusus, sekarang sudah jelas bahwa keuangan ilegal bisa dipidana penjara 10 tahun dan denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp1 triliun,” ujar Sekretaris OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen (EPK) Hudiyanto.
Sanksi tersebut guna memberikan efek jera sekaligus menghindari penipuan dengan modus layanan jasa keuangan yang berujung meresahkan dan merugikan masyarakat.
UU P2SK juga menjadi payung hukum untuk menutup celah pengawasan pinjol, di mana selama ini otak pelaku dan server berada di luar negeri sehingga sulit dijangkau.
Dengan demikian tidak hanya debt collector yang bisa ditangkap dan dipenjarakan, atau pun call center pinjol ilegal saja yang dapat diblokir, tetapi juga server nya.
UU tersebut perlu didukung oleh masyarakat luas dengan ikut mewaspadai modus penipuan seperti investasi tidak realistis hingga pinjol ilegal yang memberikan segala macam bentuk kemudahan.
Masyarakat dapat melapor kepada Satgas OJK melalui nomor WhatsApp 081157157157, email konsumen@ojk.go.id ketika menemukan tawaran investasi atau pinjol ilegal.
Pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menekankan pentingnya kerja sama internasional dari OJK untuk penindakan otak pelaku di luar negeri melalui pemerintah otoritas keuangan, mengingat pinjol ilegal sudah masuk tahap yang sangat meresahkan.
Selain itu, edukasi perlu dilakukan secara masif melalui sarana yang efektif. Salah satu yang paling didengarkan masyarakat adalah pemengaruh atau influencer.
Penelitian yang dilakukan CELIOS menunjukkan bahwa 7 dari 10 masyarakat Indonesia lebih memilih untuk mendengarkan pemengaruh dalam memutuskan masalah keuangan.
Bima menilai pemengaruh perlu dirangkul dan disertifikasi untuk memberikan peringatan bahaya, dan bagaimana ciri-ciri pinjol ilegal.
Menurut Bhima literasi keuangan idealnya sudah diberikan sejak menginjak bangku SD karena selama ini yang diajarkan hanyalah tentang menabung tetapi belum pernah diajarkan apa itu pinjaman dan bagaimana tanggung jawab maupun risikonya.
Pembelajaran tersebut terus diperkuat saat duduk di bangku SMA dan perguruan tinggi, untuk memberikan edukasi lebih intens memilih pinjaman yang aman. Upaya itu perlu dilakukan karena saat ini tak jarang pelajar dan mahasiswa menjadi korban pinjol ilegal.
Pendekatan melalui tokoh agama juga perlu dilakukan. Literasi keuangan bisa diselipkan saat shalat Jumat, tabligh akbar, maupun acara keagamaan lainnya.
Tokoh agama penting untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat dari berbagai kalangan usia, yang keberadaannya tersebar hingga ke pelosok negeri, dan tidak semua wilayah memiliki akses internet yang memadai.
Berbagai persoalan yang ditimbulkan dari keberadaan pinjol ilegal itu akan berdampak sistemik dalam kehidupan masyarakat.
Untuk meminimalisasi persoalan tersebut, masyarakat perlu ingat bahwa kemudahan mendapatkan rupiah yang diberikan pelaku pinjol ilegal, sesungguhnya adalah “jendela” kesengsaraan bagi debitur.
Di sisi lain, langkah pengawasan, edukasi, dan penindakan harus dilakukan oleh otoritas berwenang. Pemberantasan pinjol ilegal menjadi “harga mati” dalam upaya melindungi masyarakat dari jerat kesengsaraan berkepanjangan.
Pewarta: Cahya Sari
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023