"Dust devil sifatnya sangat lokal dan dalam waktu singkat, tidak terlalu berpengaruh dalam eskalasi daerah terdampak kebakaran," ujar Abdul dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Senin.
Baca juga: Wisata Gunung Bromo ditutup total akibat kebakaran hutan dan lahan
Abdul menegaskan bahwa fenomena tersebut dapat dilokalisasi dengan cepat saat pemadaman api berlangsung.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofiska (BMKG) Stasiun Meteorologi Kelas I Juanda, dalam media sosial resminya @infobmkgjuanda mengutip keterangan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menjelaskan dust devil adalah pusaran udara kecil, namun kuat, yang terjadi pada saat udara kering yang sangat panas dan tidak stabil di permukaan tanah naik dengan cepat melalui udara yang lebih dingin di atasnya.
Peristiwa tersebut membentuk aliran udara ke atas berupa pusaran dan membawa debu serpihan atau puing-puing.
Faktor penyebabnya adalah pemanasan matahari pada permukaan tanah yang cukup intensif, jumlah tutupan awalnya sangat sedikit atau cuaca cerah, banyak debu dan pasti di permukaan tanah kelembaban rendah dan permukaan tanah yang kering.
Baca juga: BB TNBTS: Angin kencang jadi kendala pemadaman kebakaran Gunung Bromo
Baca juga: KLHK ungkap penyebab api sulit padam di Gunung Bromo
Dust devil biasanya muncul pada siang, sore yang cerah kering dan panas, dan dapat berlangsung selama beberapa detik atau menit.
Dust devil hanya terlihat saat terdapat media pendukung seperti pasir dan debu.
Berbeda dari fenomena puting beliung, dust devil bukan dari awan kumulonimbus, namun dari pemanasan lokal. Kecepatan anginnya tidak terlalu tinggi, dan dampak yang disebabkan tidak destruktif atau tidak menghancurkan.
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023