"Mungkin bisa 5--6 persen, bila memaksimalkan proses dalam hilirisasi industri serta dengan cara meningkatkan ekspor dan menurunkan impor," kata Ragimun kepada ANTARA, di Jakarta, Rabu.
Sebagai contoh, ia menjelaskan dalam industri nikel, pembuatan baterai menjadi hasil akhir yang diinginkan. Namun sebelum menjadi baterai, ada bijih nikel yang dapat dimanfaatkan untuk bisa dijual sebagai nilai tambah ekspor Indonesia di pasar internasional. Hal itu menurutnya diperlukan, mengingat modal untuk pembuatan baterai sangat besar.
Lebih lanjut Ragimun menyampaikan, ekspansi dagang ke negara-negara non-tradisional seperti Amerika Latin, Afrika, serta beberapa negara Asia juga perlu dilakukan, supaya pangsa pasar Indonesia semakin luas.
"Selain penetrasi ke pasar tradisional seperti Eropa, China, dan Amerika Serikat, pemerintah juga perlu meningkatkan penetrasi ke pasar non-tradisional," ujarnya.
Di sisi lain, untuk mendapatkan keuntungan dagang yang lebih tinggi, Ragimun mengatakan pengurangan beban impor juga mesti dilakukan, dengan cara memaksimalkan produksi dalam negeri untuk bahan pokok tertentu.
Menurutnya walaupun ongkos produksi serta distribusi produk-produk dalam negeri lebih tinggi, namun dampaknya akan dirasakan secara berkelanjutan untuk Indonesia.
"Mungkin harga komoditas dalam negeri lebih mahal, tapi jangan mengambil keuntungan sesaat dari impor, harus lihat berkelanjutan," kata Ragimun.
Ia juga menyampaikan, pengalokasian uang hasil keuntungan dagang ke sektor riil harus ditingkatkan, supaya mempercepat laju perekonomian, serta menambah lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Adapun merujuk data Badan Pusat Statistik Nasional (BPS), neraca perdagangan Indonesia per Agustus 2023 surplus sebesar 3,12 miliar dolar AS.
Hal tersebut menjadi bulan ke-40 Indonesia surplus neraca perdagangan berturut-turut sejak Mei 2020, dengan akumulasi surplus yang diperoleh sejak Januari 2023 mencapai 24,34 miliar dolar AS.
Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
Editor: Sella Panduarsa Gareta
Copyright © ANTARA 2023