• Beranda
  • Berita
  • BI perkirakan neraca pembayaran Indonesia pada 2023 tetap terjaga

BI perkirakan neraca pembayaran Indonesia pada 2023 tetap terjaga

21 September 2023 20:55 WIB
BI perkirakan neraca pembayaran Indonesia pada 2023 tetap terjaga
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur BI September 2023 dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (21/9/2023). ANTARA/Martha Herlinawati Simanjuntak
Bank Indonesia (BI) mengatakan neraca pembayaran Indonesia (NPI) pada 2023 tetap terjaga dengan transaksi berjalan dalam kisaran surplus 0,4 persen sampai dengan defisit 0,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

"Neraca transaksi modal dan finansial juga diprakirakan tetap terjaga didukung oleh aliran modal masuk dalam bentuk penanaman modal asing," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI September 2023 di Jakarta, Kamis.

Perry menuturkan neraca perdagangan sampai dengan Agustus 2023 mencatat surplus sebesar 4,4 miliar dolar AS sehingga mendukung transaksi berjalan triwulan III/2023 tetap terjaga.

Sementara itu, aliran modal asing ke pasar keuangan domestik dalam bentuk investasi portofolio pada triwulan III/2023 hingga 19 September 2023 mencatat net outflow sebesar 1,7 miliar dolar AS dipengaruhi oleh ketidakpastian pasar keuangan global yang meningkat.

Baca juga: BI: Inflasi terkendali dalam kisaran target 3 plus minus 1 persen

Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Agustus 2023 tercatat tinggi sebesar 137,1 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor atau enam bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.

BI mencermati ketidakpastian ekonomi global tetap tinggi. Pertumbuhan ekonomi global 2023 diperkirakan tetap sebesar 2,7 persen dengan kecenderungan ekonomi China yang melambat dan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang semakin kuat.

Perlambatan ekonomi China disebabkan oleh pelemahan permintaan domestik karena keyakinan konsumen, utang rumah tangga, dan permasalahan sektor properti, di tengah penurunan ekspor akibat perlambatan ekonomi global.

Kuatnya ekonomi AS didukung oleh konsumsi rumah tangga seiring dengan kenaikan upah dan pemanfaatan ekses tabungan (excess savings).

Baca juga: BI: Nilai transaksi uang elektronik meningkat jadi Rp38,51 triliun

"Inflasi di negara maju masih tetap tinggi karena berlanjutnya tekanan inflasi jasa, keketatan pasar tenaga kerja, dan meningkatnya harga minyak," tutur Perry.

Perkembangan tersebut mendorong tetap tingginya suku bunga kebijakan moneter di negara maju, terutama Federal Funds Rate (FFR) AS, yang mengakibatkan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.

Akibatnya, tekanan aliran modal keluar dan pelemahan nilai tukar di negara berkembang semakin tinggi, sehingga memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi dampak negatif rambatan global tersebut, termasuk di Indonesia.

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2023