Namun ternyata para praktisi kesehatan dan pakar kuliner justru mengimbau masyarakat tidak mengonsumsi produk-produk dari ikan hiu karena selain mengganggu ekosistem laut dengan adanya perburuan hiu, produk hiu juga bukan makanan yang baik untuk kesehatan.
"Siapa bilang makan sirip hiu badan lebih sehat? Kenyataannya, untuk membuat tampilannya lebih menarik, sirip hiu sering ditambahkan Hidrogen Peroksida yang dapat meningkatkan radikal bebas dan berbahaya bagi tubuh manusia," kata praktisi kesehatan Erikar Lebang di Jakarta, Jumat.
Pernyataan tersebut dia sampaikan pada peluncuran kampanye bertajuk SOSharks (Save Our Sharks), yakni sebuah kampanye publik yang diadakan oleh World Wildlife Fund (WWF) Indonesia bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), untuk menghentikan konsumsi berbagai produk dan komoditi hiu di pasar swalayan, toko online, hotel, dan restoran serta menghentikan promosi kuliner hiu di media massa.
Erikar mengatakan sampai sekarang masih banyak anggapan salah dalam masyarakat yang menilai bahwa produk hiu dapat menyehatkan tubuh karena mengandung protein yang tinggi dan kolagen yang dapat membuat kulit awet muda.
"Padahal cara memasak sirip dan daging ikan hiu itu dengan panas yang tinggi dan waktu yang lama maka kemungkinan besar proteinnya sudah hilang. Selain itu, ceker ayam mengandung kolagen yang lebih tinggi dibanding sirip ikan hiu," jelasnya.
Sementara itu, Produser Film Vera Lasut yang juga praktisi kesehatan mengatakan bahwa dia tidak mau makan sirip atau daging hiu karena hiu merupakan predator yang hidup lama di laut sehingga tubuh hiu mengandung banyak logam dan zat kimia, seperti merkuri.
"Dengan memakan sirip hiu berarti Anda tidak mempedulikan kecantikan dan kesehatan Anda sendiri. Hiu di laut itu bukan untuk dimakan," ujarnya.
Direktur Eksekutif WWF Indonesia Efransjah mengatakan bahwa masyarakat cenderung mengonsumsi produk ikan hiu karena "terjebak" oleh pemikiran yang sudah terbangun sejak dahulu.
"Sup sirip hiu dianggap sangat menyehatkan itu ternyata mitos dari zaman Dinasti Ming karena para kaisar atau raja sering memakan itu sehingga dianggap sebagai "Chinese Delicacy Luxurious Item" (makanan Cina yang lezat dan mewah)," kata Efran.
Bahkan, kata dia, kebiasaan itu ternyata terbawa hingga ke zaman modern ini karena masyarakat seringkali menganggap produk pangan dari ikan hiu sebagai makanan yang berhubungan dengan "Wealth, Power, and Prestige" (Kekayaan, Kekuasaan, dan Gengsi).
Dia menambahkan ada juga anggapan salah lainnya dalam masyarakat mengenai khasiat dari sirip ikan hiu yang dikatakan dapat meningkatkan gairah dan kemampuan seksual seorang pria.
Menurut WWF Indonesia, praktik "Shark Finning", yakni pengambilan sirip ikan hiu dengan memotong sirip dalam keadaan hidup-hidup, telah dilakukan terhadap 38 juta hiu tiap tahunnya dari 26 hingga 73 juta ikan hiu yang tertangkap dalam aktivitas perikanan dunia.
Hal itu, kata Efran, berarti sekitar satu sampai dua individu hiu tertangkap setiap detiknya, padahal hiu adalah ikan yang perkembangbiakannya lambat serta menghasilkan sedikit anakan sehingga rentan terhadap eksploitasi berlebihan.
"Padahal, dalam setahun seekor hiu hanya bisa beranak enam sampai 12 ekor saja," ungkapnya.
Data dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) pada 2010 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada urutan teratas dari 20 negara penangkap hiu terbesar di dunia.
"Padahal, semua anggapan di balik keinginan masyarakat untuk mengonsumsi hiu itu tidak benar. Kalau kita tidak mengajak masyarakat untuk berhenti mengonsumsi ikan hiu maka binatang yang malang ini bisa punah karena kepercayaan yang aneh-aneh itu," ucap Efran.
Pewarta: Yuni Arisandy
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013