• Beranda
  • Berita
  • Era transisi energi, praktisi hukum hulu migas bentuk APHMET

Era transisi energi, praktisi hukum hulu migas bentuk APHMET

9 Oktober 2023 14:36 WIB
Era transisi energi, praktisi hukum hulu migas bentuk APHMET
Kepala Divisi Hukum SKK Migas, Dr. Didik Sasono Setyadi yang juga menjadi Ketua APHMET Asosiasi Praktisi Hukum Migas dan Energi Terbarukan (APHMET), saat sambutan pada Forum Hukum Minyak dan Gas Bumi (FHMM) 2023 di Yogyakarta, Senin (9/10/2023). ANTARA/HO-APHMET.

Untuk itu, mulai tahun ini dan tahun-tahun berikutnya APHMET menjadi wadah kita bersama untuk menyelenggarakan Forum Hukum Hulu Migas dan bahkan di kemudian hari juga untuk Forum Hukum Energi Terbarukan.

Para praktisi hukum industri hulu minyak gas membentuk Asosiasi Praktisi Hukum Migas dan Energi Terbarukan (APHMET) untuk menjawab kebutuhan pada era transisi menuju energi bersih nol emisi (net zero emission).

Kepala Divisi Hukum Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Dr Didik Sasono Setyadi yang juga menjadi Ketua APHMET, menyatakan energi migas akan berbaur dan bertransformasi menuju energi baru dan terbarukan, sehingga wadah yang dibentuk tidak lagi eksklusif hanya untuk industri hulu migas, namun juga menampung kebutuhan praktisi hukum di bidang energi baru dan terbarukan.

"Untuk itu, mulai tahun ini dan tahun-tahun berikutnya APHMET menjadi wadah kita bersama untuk menyelenggarakan Forum Hukum Hulu Migas dan bahkan di kemudian hari juga untuk Forum Hukum Energi Terbarukan," kata Didik dalam pernyataan resmi di Jakarta, Senin.

Baca juga: Teknologi GIS berdampak positif bagi industri hulu migas

Pembentukan APHMET dilakukan di sela-sela penyelenggaraan Forum Hukum Minyak dan Gas Bumi (FHMM) 2023 yang digelar di Yogyakarta, 9-11 Oktober 2023.

Didik menjelaskan selain yang bersifat hanya kajian saja, di FHHM tahun ini juga akan disampaikan hal-hal lain yang bersifat kongkrit yaitu, peluncuran website APHMET dan situs regulasi sektor migas, kerja sama BKU hukum migas APHMET dengan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, serta pendirian Badan Arbitrase Sengketa Energi (BASE).

Disebutan Didik, industri hulu minyak dan gas bumi di nusantara ini adalah salah satu industri yang tertua. Bahkan jauh lebih tua dari umur republik ini.

"Di industri hulu minyak dan gas bumi yang sudah berumur, tentunya tanpa kita sadari telah lahir, tumbuh dan menjadi matang dan dewasa ribuan praktisi hukum migas yang andal dan kompeten," kata Didik dalam sambutan pembukaan FHMM 2023, Senin (9/10).

Baca juga: Indonesia di ADIPEC 2023 UEA nyatakan kesiapan dukung transisi energi

Para praktisi ini lanjut Didik sangat memahami seluk beluk industri hulu migas sejak Indische Mijnwet Staatsblad 1899 No.214 jo. Staatsblad 1906 No.434 diberlakukan. Kemudian digantikan UU Nomor 44 Perpu Tahun 1960, bahkan kemudian ketika Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian Asosiasi Praktisi Hukum Minyak & Gas Bumi dan Energi Terbarukan (APHMET) yang mengilhami diterapkannya suatu skema yang menjadikan Indonesia sebagai ikon industri hulu migas di dunia yaitu legacy berupa skema Production Sharing Contract (PSC).

"Saat ini sudah lebih dari 70 negara di dunia mengadopsi Production Sharing Contract, namun patut disayangkan ketika dunia ingin belajar PSC, tidak datang ke Indonesia, tidak ke UI, UGM, Airlangga dan lain-lainnya, tapi harus pergi ke Houston atau Aberdeen," kata Didik.

Pasti ada sesuatu yang salah dengan ini. Bahkan para praktisi hukum migas di Indonesia yang jumlahnya tak terhitung lagi ini, banyak yang telah menyebar bekerja di negara-negara lain, kata Didik.

"Hingga saat ini praktisi hukum migas Indonesia tidak memiliki wadah yang menaungi untuk saling berkolaborasi, bersinergi dan berkontribusi lebih besar, selayaknya kawan-kawan di profesi lain seperti IATMI maupun IAGI," kata Didik.

Baca juga: Perubahan iklim dan pemanfaatan energi hijau

Saat ini, lanjut Didik, untuk mencapai visi dan target 1 juta barel minyak per hari (BOPD) pada tahun 2030 dibutuhkan investasi belasan hingga lebih dari 20 miliar dolar AS per tahun, di mana sangat memerlukan insentif fiskal dan nonfiskal yang menarik.

"Bagi kita para praktisi hukum, tentunya ini bukan sekadar angka-angka, namun di sana ada peluang, tantangan, ancaman dan hambatan yang harus dihadapi, dikelola dan dimanfaatkan," kata dia.

Menurutnya, bisa dibayangkan akan ada berapa banyak regulasi/peraturan, perjanjian / kontrak baik itu sifatnya joint ventures (joint operating agreement), project financing, pengadaan barang dan jasa, kontrak-kontrak komersial (jual beli minyak/ gas bumi / LNG), compliance dengan lingkungan (net zero emission), hingga urusan-urusan penyelesaian sengketa yang melekat seiring dengan meningkatnya investasi ini dari tahun ke tahun.

"Dan melalui wadah (APHMET) ini diharapkan bisa memperkuat kolaborasi para praktisi hukum migas Indonesia demi kemajuan industri hulu migas dan energi terbarukan untuk ketahanan energi dan kemakmuran bangsa," tandas Didik.

Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2023