"Kita harus berani merubah lifestyle (gaya hidup), laju kenaikan suhu bumi yang seolah melompat ini karena adanya gas-gas rumah kaca," katanya dalam acara Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang disiarkan secara daring di Jakarta, Senin.
Ia mengatakan penyebab utama perubahan iklim karena penggunaan energi fosil yang berlebihan, sehingga dengan mengendalikan penggunaan energi tersebut dapat memitigasi kenaikan suhu yang diprediksi mencapai tiga kali lipat pada akhir abad ke-21.
Menurutnya, cara yang bisa dilakukan masyarakat dengan beralih menggunakan transportasi publik yang ramah lingkungan serta mulai mau menggunakan kendaraan listrik dan memanfaatkan energi surya dalam kehidupan sehari-hari.
Baca juga: BMKG: WWF jadi momentum kolaborasi antisipasi krisis air global
Selain itu, ia mengatakan, rutin melakukan penanaman juga menjadi solusi agar emisi karbon yang dihasilkan dari efek gas rumah kaca bisa terserap.
Dwikorita menyampaikan melalui stasiun pemantau atmosfer global di Bukit Kototabang, Sumatera Barat mencatat adanya kenaikan konsenstrasi karbon dioksida (CO2) di Indonesia dalam 18 tahun terakhir.
"Tahun 2004 sekitar 372 ppm, sedangkan data terbaru tahun 2022 menjadi 312 ppm, berarti kenaikannya selama 18 tahun terakhir mencapai 40 ppm lebih," katanya.
Menurut laporan yang dirilis lembaga nirlaba pemerhati perubahan iklim Climate Central, dalam rentang Juni-Agustus 2023 sebanyak 98 persen atau 7,95 miliar populasi manusia di 180 negara dan 22 wilayah, mengalami kenaikan suhu dua kali lebih tinggi akibat dari produksi polusi karbon yang terperangkap dan menjadi panas di atmosfer bumi.
Baca juga: BRIN sebut puncak kemarau terik terjadi pada Oktober 2023
Baca juga: Peneliti BRIN jelaskan penyebab suhu menyengat di sejumlah daerah
Baca juga: Ilmuwan ungkap faktor terpendam mengapa suhu 2023 begitu panas
Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2023