Seorang ekonom menilai meningkatnya suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) pada level 6,00 persen akan berdampak pada penurunan daya konsumsi masyarakat.Itu artinya (suku bunga BI) akan melemahkan penjualan perumahan, maupun kendaraan bermotor.....
Hal itu dikarenakan kenaikan suku bunga BI berujung para meningkatnya suku bunga kredit pada segmen konsumsi dengan cepat, seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR) hingga kredit kendaraan motor.
“Itu artinya (suku bunga BI) akan melemahkan penjualan perumahan, maupun kendaraan bermotor. Masyarakat, mungkin lebih menahan diri dulu untuk belanja barang-barang yang sifatnya konsumtif,” kata Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira di Jakarta, Jumat.
Baca juga: BI naikkan suku bunga untuk jaga stabilitas nilai tukar rupiah
Sebelumnya, BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,25 basis poin (bps) ke level 6,00 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 18-19 Oktober 2023.
Bhima menilai keputusan itu dilatarbelakangi oleh melemahnya nilai tukar rupiah, serta ketidakpastian global yang masih berlanjut.
Selain berdampak pada kredit konsumsi, keputusan BI juga mempengaruhi sektor usaha produktif karena tingginya suku bunga mengakibatkan ada penyesuaian pada fasilitas pembiayaan kredit modal kerja dan kredit investasi, yang berpotensi menghambat ekspansi yang dilakukan oleh para pelaku usaha.
Ia memberikan contoh, para pelaku usaha berpotensi mengkompensasikan biaya suku bunga yang tinggi ke dalam harga jual produknya sehingga berimbas pada konsumen akhir.
“Masalahnya tidak semua segmen konsumsi dengan kondisi hari ini siap menanggung biaya bunga yang meningkat, dan ini artinya konsumen pun juga dihadapkan pada situasi menahan pembelian barang, atau dia harus berhemat, atau mengurangi pembelian barang-barang lainnya,” ujarnya.
Baca juga: BI: Penyaluran kredit baru di triwulan III 2023 terindikasi meningkat
Bhima memproyeksikan meningkatnya suku bunga BI masih akan terus berlanjut beberapa bulan ke depan mengingat nilai tukar rupiah yang semakin melemah, serta ekonomi nasional yang masih dihantui ketidakpastian global.
Pada penutupan perdagangan hari ini, mata uang rupiah melemah sebesar 58 poin atau 0,36 persen menjadi Rp15.873 per dolar AS dari penutupan sebelumnya sebesar Rp15.815 per dolar AS.
Pada RDG sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan depresiasi nilai tukar rupiah saat ini relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara lain di kawasan Asia dan global.
Dengan langkah stabilisasi yang ditempuh, BI dapat menjaga depresiasi nilai tukar rupiah sebesar 1,03 persen year to date (ytd) per 18 Oktober 2023, di tengah menguatnya dolar Amerika Serikat (AS) yang memberikan tekanan terhadap seluruh mata uang di dunia.
“Ke depan, sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, BI akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah, agar sejalan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian imported inflation,” ujar Perry pada Kamis (20/10).
Di samping intervensi di pasar valuta asing (valas), lanjutnya, BI akan mempercepat upaya pendalaman pasar uang rupiah dan pasar valas, termasuk optimalisasi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan penerbitan instrumen-instrumen lain untuk meningkatkan mekanisme pasar, baik dalam meningkatkan manajemen likuiditas institusi keuangan domestik dan menarik masuknya aliran portofolio asing dari luar negeri.
Baca juga: BI terbitkan dua instrumen baru SVBI dan SUVBI untuk tarik modal asing
Selain itu, Perry juga menyebut akan terus meningkatkan dan memperluas koordinasi dengan pemerintah, perbankan, dan dunia usaha dalam pengimplementasian instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA), sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023.
Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2023