“Bumi adalah tempat yang baik dan layak untuk diperjuangkan.”Hadirnya bursa karbon membuat perusahaan berlomba-lomba mengurangi pengeluaran emisi karbon atas aktivitas produksi mereka,
Itulah sepenggal kalimat dari Ernest Hemingway, peraih Nobel sastra dan Pulitzer pada dekade 1950-an, yang dengan lugas menyebut bahwa Bumi yang kita tinggali ini memang layak untuk diperjuangkan seperti apa pun kondisinya.
Tak dimungkiri, Bumi berada dalam ancaman perubahan iklim pada masa mendatang akibat banyaknya emisi karbon yang menyesaki atmosfer. Walakin, sebagai penghuni, manusialah yang harus memperjuangkan keberlanjutannya.
Asia Tenggara, yang Indonesia bagian darinya, disebut akan paling berisiko merasakan dampak terparah perubahan iklim di Bumi, melansir catatan Swiss Re Institute
Dalam skenario terburuk, potensi penurunan produk domestik bruto (PDB) Asia Tenggara mencapai 37,4 persen, atau lebih besar dibandingkan risiko penurunan PDB dunia yang hanya 18 persen pada 2050, apabila iklim dan suhu Bumi terus memanas.
Sebagai pemilik paru-paru dunia terbesar bersama Brazil dan Kongo, Indonesia bisa memimpin aksi pencegahan perubahan iklim dengan sumber daya yang dimiliki serta aksi nyata.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat lahan berhutan seluruh daratan di Indonesia mencapai 96 juta hektare atau 51,2 persen dari total daratan pada 2022.
“Sekitar 92 persen dari total luas berhutan atau 88,3 juta hektare, berada di dalam kawasan hutan,” ungkap Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Ruandha A. Sugardiman.
Salah satu peran pohon yaitu untuk meredam gas rumah kaca yang menjadi penyebab utama pemanasan global dan perubahan iklim, dengan fungsi utamanya menyimpan karbon.
Reforestasi
Dengan hutan yang luas, Indonesia bisa memulai dengan upaya deforestasi yang dibarengi dengan reforestasi, yang mulai digalakkan selama beberapa tahun terakhir ini.
Selama periode 2020-2021, Indonesia berhasil menurunkan laju deforestasi sebesar 8,33 persen dibandingkan periode 2019-2020, catat KLHK.
Deforestasi neto tercatat seluas 104 ribu hektare pada 2020--2021, sementara deforestasi neto pada 2019--2020 seluas 113,5 ribu hektare.
Untuk mengetahui keberadaan dan luas tutupan lahan, baik berhutan maupun tidak berhutan, KLHK memantau hutan dan deforestasi setiap tahun.
Penurunan laju deforestasi nasional dibarengi dengan upaya reforestasi atau penanaman kembali pohon, yang diamanatkan langsung oleh Presiden Joko Widodo.
Selama 2020 hingga 2021, reforestasi hutan sekunder mencapai 2.559 hektare atau 10,01 persen dan reforestasi hutan tanaman mencapai 22.993,7 hektare atau 89,99 persen.
Secara keseluruhan koordinasi operasi yang dipimpin Menteri Marves Luhut dan Presiden menegaskan untuk penanaman pohon-pohon yang besar oleh semua pihak dan masyarakat dunia usaha dan pengelola gedung-gedung besar, ujar Menteri LHK Siti Nurbaya.
Pensiun dini PLTU
Penanaman kembali pohon saja tidaklah cukup. Menanggulangi perubahan iklim perlu digencarkan melalui upaya transisi energi ke energi baru terbarukan (EBT), mengingat kebutuhan hidup manusia yang membutuhkan sumber energi setiap harinya.
Namun, sampai hari ini batu bara masih menjadi sumber energi bagi 38,46 persen dari total suplai energi nasional, melansir data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), diikuti energi minyak Bumi 32,82 persen, gas Bumi 19,2 persen, dan hanya 11,2 persen bersumber dari EBT.
Namun, Pemerintah tidak tinggal diam. Komitmen mulai direalisasikan untuk tidak akan lagi menggunakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara setelah 2028 alias melakukan pensiun dini PLTU.
Kemudian, komitmen untuk menghentikan PLTU yang berusia di atas 30 tahun pada 2030, serta pensiun dini bagi 9,2 Giga Watt PLTU.
Kementerian Keuangan sebelumnya merilis Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103 Tahun 2023 (PMK 103/2023) tentang Pemberian Dukungan Fiskal melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan.
Mengacu pasal-pasal dalam aturan itu, APBN bisa dimanfaatkan sebagai sumber pendanaan untuk suntik mati atau pensiun dini PLTU, serta bisa dimanfaatkan untuk membiayai pengembangan pembangkit energi terbarukan sebagai pengganti dari proyek PLTU.
Pembiayaan dari kas negara tersebut tetap memperhatikan kemampuan keuangan negara serta memperhatikan syarat-syarat yang melekat pada PLTU yang akan didanai.
“Perlu memberikan dukungan fiskal melalui kerangka pendanaan dan pembiayaan untuk percepatan pengakhiran waktu operasi pembangkit listrik tenaga uap, percepatan pengakhiran waktu operasi kontrak perjanjian jual beli listrik pembangkit listrik tenaga uap, dan/atau pengembangan pembangkit energi terbarukan," ujar Sri Mulyani dalam poin pertimbangan PMK 103/2023.
Pasar karbon
Perwujudan janji dekarbonisasi juga mulai dibuktikan dengan meluncurnya Bursa Karbon (IDX Carbon) sebagai wadah perdagangan karbon antara perusahaan-perusahaan yang selama ini menyumbang gas rumah kaca.
Hadirnya bursa karbon tentunya akan membuat perusahaan berlomba-lomba mengurangi pengeluaran emisi karbon atas aktivitas produksi mereka, atau akan diganjar dengan ongkos mahal karena karbon yang mereka hasilkan.
Mekanisme kerja bursa karbon, perusahaan yang berhasil mengurangi emisi di bawah target, akan diberikan izin untuk menjual unit karbon yang mereka punya kepada perusahaan lain yang emisinya melebihi target.
Peluncuran bursa itu diapresiasi oleh pasar, tercatat pada perdagangan hari pertama nilai transaksi mencapai Rp29,20 miliar, dengan volume perdagangan sebanyak 459.953 tCO2 (ton unit karbon) dan total sebanyak 27 transaksi.
Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI) Jeffrey Hendrik mengatakan bursa karbon negara tetangga butuh persiapan selama 3 bulan sebelum resmi bertransaksi, sementara di Indonesia saat peluncuran sudah bisa melaksanakan transaksi.
Pada hari pertama, Malaysia hanya ada transaksi 150.000 ton, sedangkan Indonesia hampir tiga kali lipat pada hari pertama. Catatan awal yang mencuatkan optimisme bursa karbon domestik.
Dengan penurunan deforestasi dibarengi reforestasi, suntik mati PLTU, hingga kehadiran pasar karbon, Indonesia berusaha memulai memimpin aksi nyata untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, sebagai upaya mencegah perubahan iklim dan dampak yang ditimbulkan.
Semua ini baru awal untuk mencapai target penurunan emisi 31,89 persen dengan usaha sendiri dan 43,20 persen dengan bantuan negara lain sebagaimana Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2030.
Beragam langkah tersebut merupakan awal pembuktian janji Ibu Pertiwi dalam Perjanjian Paris untuk mencapai emisi bersih atau nol pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Pewarta: Muhammad Heriyanto
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023