• Beranda
  • Berita
  • Kebijakan keluarga di Indonesia dinilai masih setengah hati

Kebijakan keluarga di Indonesia dinilai masih setengah hati

28 Juni 2013 22:25 WIB
Kebijakan keluarga di Indonesia dinilai masih setengah hati
ilustrasi KB (FOTO ANTARA/Saptono)

Indonesia merupakan negara dengan kebijakan eksplisit keluarga yakni Undang-Undang nomor 52 tahun 2009, namun demikian program keluarga yang dijalankan sebatas pendukung atau pelengkap program lainnya,"

Bogor (ANTARA News) - Guru Besar Departemen Ilmu Keluarga Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Ir Euis Sunarti, M.Si mengatakan salah satu alasan masih besarnya masalah ketahanan dan kesejahteraan keluarga di Indonesia adalah karena kebijakan keluarga yang setengah hati.

"Indonesia merupakan negara dengan kebijakan eksplisit keluarga yakni Undang-Undang nomor 52 tahun 2009, namun demikian program keluarga yang dijalankan sebatas pendukung atau pelengkap program lainnya," kata Prof Euis kepada wartawan dalam kegiatan bincang memperingati Hari Keluarga, di Kampus IPB, Baranangsing, Kota Bogor, Jabar, Jumat.

Prof Euis menuturkan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai salah satu institusi yang melaksanakan program ketahanan keluarga, menempatkan program ketahanan keluarga sebatas pendukung program KB.

Oleh karena itu, lanjut Euis, dapat dipahami jika "keberhasilan" berbagai program pemberdayaan keluarga yang dilaksanakan dalam kurun waktu lama, dapat hilang terkikis oleh kebijakan lainnya.

"Sayangnya kebijakan dan program keluarga sampai saat ini masih sebatas itu," ujarnya.

Ia menuturkan ketahanan keluarga Indonesia membutuhkan kebijakan menuju tindakan.

Tahun ini, Indonesia sudah 20 kali memperingati Hari Keluarga dan hampir empat dekade melaksanakan kebijakan serta program keluarga secara eksplisit.

Namun, lanjutnya, sebagian besar keluarga Indonesia belum sejahtera yakni sebanyak 43,87 persen atau sebanyak 27,8 juta keluarga pra sejahtera dan KS-1 (keluarga sejahtera).

Padahal dalam Undang-Undang nomor 52 tahun 2009 mengamanatkan pemerintah untuk membangun ketahanan, kesejahteraan dan kualitas keluarga.

"Keluarga itu merupakan institusi sosial terkecil, institusi utama dan pertama dalam pembangunan karakter sumber daya manusia Indonesia," katanya.

Menurut dia, keluarga harus memiliki ketangguhan karena memiliki beragam peran, fungsi dan tugas yang diembannya. Sepanjang siklus kehidupan keluarga bertugas dalam pemenuhan kebutuhan dasar (fisik dan non fisik), dan beragam kebutuhan lainnya.

"Kehidupan dan kualitas keluarga merupakan miniatur kehidupan dan keualitas masyarakar dan negara, menjadi cerminan budaya dan peradaban manusia," ujarnya.

Euis mengemukakan, ketangguhan keluarga Indonesia tercermin dari indikator pembangunan. Berdasarkan data dari BPS periode 2009-2010, saat ini masih banyak keluarga yang belum memiliki rumah (13,6 juta atau 22 persen), sulit akses air bersih (sekitar 50 persen), tidak memiliki akses sanitasi higiene (45 persen), dan miskin (sekitar 31 juta atau 13 persen).

Selain itu, masih banyak keluarga yang sulit memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan berkualitas, yang tinggal di wilayah rawan pangan, wilayah rawan bencana, dan daerah tinggi.

"Dengan potret seperti ini, maka dapat kita pahami pernyataan Presiden SBY pada KTT G-20 Juni 2012 lalu, bahwa separoh negara di dunia tidak akan mencapai target MDG`s," katanya.

Ia mengatakan, dengan potret keluarga demikian, maka perlu perhatian serius bagaimana keluarga Indonesia menghadapi era global dan perdagangan bebas.

"Besarnya tantangan pembangunan ketangguhan keluarga Indonesia maka penting bagi seluruh pemangku kepentingan pembangunan keluarga untuk bekerja sama dan berkoordinasi mengembangkan program terobosan yang memberikan daya ungkit percepatan peningkatan kesejahteraan keluarga," katanya.
(KR-LR/Z003)

Pewarta: Laily Rahmawati
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013