Para ibu di wilayah tersebut disibukkan dengan kegiatan memasak ketupat. Biasanya dilakukan pada hari ke-15 dan ke-16 puasa atau pada Selasa (23/7) dan Rabu (24/7).
Tradisi itu dikenal dengan istilah Qunutan atau Kupat Qunutan. Ketupat-ketupat yang sudah matang dibawa ke masjid menjelang Salat Tarawih dan kemudian dibagikan kembali kepada jemaah usai salat berlangsung.
Uniknya, yang dibawa hanya ketupat, tanpa ada sayur ataupun lauk lainnya.
Salah seorang tokoh masyarakat Desa Pasir Gadung, Cikupa, Tangerang, Banten, H Asnawi, menjelaskan tradisi itu dikenal dengan Qunutan karena imam membacakan doa Qunut pada rakaat terakhir pelaksanaan Salat Witir.
Qunutan adalah tradisi lama yang masih diwariskan hingga saat ini. Tidak ada yang tahu pasti kapan dimulainya tradisi tersebut.
Ada yang menyebutkan tradisi itu telah berlangsung sejak zaman Kesultanan Demak ketika memperluas pengaruhnya ke daerah barat pada 1524. Sultan Cirebon, Sunan Gunung Jati, yang dibantu pasukan Demak menduduki pelabuhan Banten dan mendirikan Kesultanan Banten.
"Ketupat tersebut dibagi-bagikan dimaksudkan untuk meraih berkah pada bulan suci ini," ujar Asnawi yang ditemui di Tangerang, Kamis.
Dengan bersedekah berupa makanan tersebut, sambung dia, masyarakat berharap bisa menjalani puasa yang tersisa tanpa ada hambatan.
"Harapannya tentu ingin meraih malam Lailatul Qadar yang ada pada penghujung Ramadhan," kata lelaki yang berumur 60 tahun itu.
Tradisi itu juga sebagai bentuk rasa syukur Umat Muslim karena berhasil menjalani separuh Ramadhan.
Qunutan masih berlangsung hampir di seluruh wilayah Banten. Biasanya, ketupat yang didapat dari masjid tersebut dibawa ke rumah dan dimakan dengan sayur kulit tangkil atau opor ayam.
"Tahun ini, memang ada perbedaan waktu Qunutan. Karena ada sebagian masyarakat yang sudah duluan berpuasa. Kalau yang mulai puasanya Selasa, maka Qunutan dilakukan pada Selasa. Sedangkan yang mulai puasa pada Rabu, Qunutannya dilakukan pada Rabu juga," lanjutnya.
Beberapa tahun belakangan ini, sambung Asnawi, tradisi itu lambat laun mulai ditinggalkan masyarakat karena kesibukan. Apalagi, sebagian besar daerah tersebut dihuni oleh pendatang yang di daerah asalnya tidak mempunyai tradisi Qunutan.
"Saya berharap tradisi ini bisa tetap berlangsung meskipun wilayah ini banyak dihuni para perantau," harap lelaki berkumis itu.
Berkah Ketupat
Seorang warga Pasir Gadung, Cikupa, Tangerang, Atikah (40), mengatakan keluarganya sudah menjalankan tradisi itu sejak lama.
"Tahun ini, saya memasak kurang lebih 40 ketupat," kata Atikah.
Selain untuk dibawa ke masjid, ketupat-ketupat tersebut dibagikan kepada keluarga dan tetangga-tetangga dekatnya. Di masjid, ketupat-ketupat tersebut dikumpulkan dan kemudian dibagikan usai salat.
"Biasanya yang suka berebut ketupat di masjid adalah anak-anak kecil. Namanya juga anak-anak," kata dia.
Tradisi itu dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, serta waktu yang tepat untuk bersilaturahmi bersama tetangga.
Qunutan itu juga, sambung dia, membuat masjid atau mushala yang mulai ditinggalkan jemaah karena kesibukan menyambut lebaran, kembali ramai.
Untuk konsumsi pribadi, Atikah juga membuat sayur pepaya untuk menemani makan ketupat. Tapi ada juga masyarakat yang memakan ketupat dengan karedok dan makanan lainnya.
"Tergantung selera. Ada juga yang memakannya dengan sayur kulit tangkil. Itu adalah makanan khas Tangerang."
Uniknya, masyarakat setempat tidak lagi membuat ketupat pada saat lebaran. Atikah menjelaskan mereka hanya memasak nasi beserta lauk-pauk.
"Pada lebaran, kami tidak membuat ketupat. Hanya nasi dan lauk-pauk saja," jelas ibu dua anak itu.
Atikah berharap bisa mendapat berkah Ramadan dengan menjalani tradisi Qunutan tersebut.
Tradisi Qunutan tidak hanya membawa berkah bagi masyarakat yang menjalaninya juga. Pedagang kulit ketupat di sejumlah pasar tradisional juga meraup keuntungan.
Seorang pedagang yang ditemui ANTARA di Pasar Kemis, Tangerang, Mulyana (56), mengaku meraup keuntungan yang cukup besar.
"Biasanya hanya laku sekitar 1.500 hingga 1.600 kulit ketupat setiap harinya. Kalau Qunutan, saya bisa menjual lebih dari 3.000 kulit ketupat," kata Mulyana.
Mulyana mengaku penjualan kulit ketupat biasa meningkat saat Qunutan dan menjelang lebaran. Mulyana berhasil mengantongi keuntungan sekitar Rp250.000 selama dua hari berjualan kulit ketupat.
Pedagang lainnya, Khaerudin (45), mengaku meraup keuntungan sebesar Rp300.000 dari menjual ketupat selama dua hari.
"Biasanya saya menjual sayur-mayur, tapi dua hari ini jualan kulit ketupat," kata Khaerudin.
Khaerudin mengaku kulit ketupat tersebut dibuat sendiri oleh dirinya beserta istrinya. Dibandingkan tahun sebelumnya, Khaerudin mengaku penjualannya sepi.
"Saya buat sebanyak 9.000 biji kulit ketupat. Karena biasanya banyak yang cari," ujar lelaki yang akrab disapa Udin itu.
Udin mengaku berhasil menjual sekitar 5.000 kulit ketupat pada hari pertama. Sedangkan pada hari kedua, ia berhasil menjual sekitar 3.000 ketupat.
"Sisanya masih bisa digunakan untuk lebaran," kata Udin.
Di Indonesia, tradisi Qunutan tak hanya berlangsung di wilayah Banten. Tradisi itu juga dilakukan sebagian warga yang menetap di DKI Jakarta,Jawa Barat dan Gorontalo.
(I025/Z003)
Pewarta: Indriani
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013