Standar pasti durasi pidana penjara diperlukan

23 Desember 2013 13:38 WIB
Standar pasti durasi pidana penjara diperlukan
Gubernur Banten, Atut Chosiyah, dalam "seragam" tahanan KPK, digelandang meninggalkan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Jumat lalu (20/12). Dia langsung ditahan KPK begitu selesai diperiksa sebagai saksi dalam dugaan suap sengketa Pilkada Lebak, di Mahkamah Konstitusi. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A).

... dalam kasus lain dengan nilai kerugian negara jauh lebih besar, sepatutnya vonis terhadap koruptor lebih besar juga... "

Pekanbaru, Riau (ANTARA News) - Pakar hukum pidana Universitas Riau, Erdianto Effendi, mengatakan, diperlukan standar pasti penetapan durasi alias masa hukuman pidana penjara bagi pesakitan korupsi. 

Dia menyatakan, hal ini penting guna menjaga aspek keadilan tetap terjaga terhadap vonis hakim atas para koruptor yang merusak negara itu. Juga untuk membuat para calon koruptor takut beraksi.

Ada preseden hukuman penjara yang cukup lama --sebagai contoh-- bekas petinggi PKS, Luthfie Ishak, yang divonis 16 tahun penjara plus hukuman lain. Ishak dihukum 16 tahun penjara atas kerugian negara sebanyak Rp1 miliar.

Artinya, dalam kasus lain dengan nilai kerugian negara jauh lebih besar, sepatutnya vonis terhadap koruptor lebih besar juga. Dengan kata lain, harus proporsional antara panjang masa penjara dengan besaran kerugian negara yang bisa dibuktikan.

"Pedoman tentang standar berapa lama seorang boleh dipidana hakim tidak perlu diatur dalam UU, cukup diatur surat edaran Mahkamah Agung saja," kata Effendi, di Pekanbaru, Senin.

Ia mengatakan, dalam perundang-undangan sekarang, panjang masa pidana penjara hanya ditentukan maksimal berapa tahun dan dalam beberapa UU Tindak Pidana Khusus, ditentukan juga pidana minimum. 

"Memang UU hanya memuat batas-batasnya, para hakim yang menentukan. UU memang tidak boleh mengatur sampai terlalu teknis karena akan mengganggu kebebasan hakim," katanya.

Dia berpendapat, harus ada ukuran lebih pasti tentang standar lama masa pidana penjara dengan berdasarkan pada beberapa hal, dimulai dari sikap batin si pelaku hingga seberapa besar niat jahatnya. 

"Misalnya seorang yang sudah kaya sekali tetapi ternyata tetap korup, pidananya mestinya lebih besar. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang gajinya sangat besar, tetapi masih korupsi juga mestinya pidananya lebih besar dari pada penyelenggara negara yang penghasilannya kecil," katanya.

Dasar ukuran ketiga adalah modusnya, jika modusnya jauh lebih rapi dan sulit dibuktikan, maka pidananya mestinya akan lebih besar.

Pewarta: Frislidia
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2013