Bangkok (ANTARA News/AFP) - Pemerintah Thailand pada Kamis menolak seruan menunda pemilihan umum pada Februari 2013, setelah polisi bentrok dengan pengunjukrasa oposisi di ibukota Bangkok menewaskan satu polisi dan melukai lusinan orang dari kedua pihak.Saat ini demokrasi di Thailand dibajak dengan kekerasan dan premanisme. Memalukan!"
Bentrokan baru memperdalam kemelut, yang dihadapi Perdana Menteri (PM) Yingluck Shinawatra, yang pemerintahannya beberapa pekan belakangan ini diguncang unjukrasa besar dengan tujuan menghentikan dominasi politik keluarganya.
Konflik berkepanjangan itu secara luas telah mengelompokkan warga kelas menengah dan atas yang berada di Bangkok melawan para pemilih kelas buruh yang tinggal di pedesaan dan yang setia kepada kakak Yingluck, Thaksin Shinawatra.
Thanksin digulingan dari jabatannya sebagai perdana menteri melalui kudeta militer pada tahun 2006.
Polisi menembakkan gas air mata serta peluru karet pada Kamis ke arah para pengunjuk rasa yang melempar-lemparkan batu dan berusaha merangsek ke stadion olahraga di ibukota, tempat para kandidat pemilihan umum dikumpulkan guna melakukan pendaftaran untuk mengikuti pemilihan bulan Februari.
Pengunjuk rasa --yang ingin mendepak pemerintahan Yingluck dan membentuk "dewan rakyat" tanpa pemilihan untuk menggantikan pemerintahan-- menuduh Thaksin, konglomerat milioner yang menjadi politisi, melakukan korupsi.
Mereka juga mengatakan Thanksin adalah sosok yang mengendallikan pemerintahan adik perempuannya dari markasnya di Dubai.
Pengunjukrasa menyatakan tekad akan menghadang pemilihan bulan Februari, dengan mengatakan pemilihan itu hanya akan membawa sekutu-sekutu Thaksin kembali ke kekuasaan.
Hampir 100 orang dari kedua belah pihak mengalami luka-luka, demikian menurut lembaga-lembaga pelayanan darurat.
Sebanyak 25 polisi dirawat di rumah sakit, 10 di antaranya berada dalam kondisi kritis, kata seorang juru bicara kepolisian. Satu polisi tewas karena luka tembak.
"Saat ini demokrasi di Thailand dibajak dengan kekerasan dan premanisme. Memalukan!," kata Sunai Phasuk, peneliti senior pada Human Rights Watch --yang berpusat di New York, melalui Twitter.
Karena kekerasan meningkat, Komisi Pemilihan Umum menyarankan agar pemungutan suara bulan Februari ditunda selama waktu yang tidak ditentukan.
"Kami tidak bisa menyelenggarakan pemilihan yang bebas dan adil berdasarkan dalam situasi seperti ini," kata anggota komisi, Prawit Rattanapien.
Prawit dan para pejabat pemilihan lainnya harus dievakuasi dari stadion menggunakan helikopter.
Namun, pemerintah menolak usulan itu dengan alasan penundaan tidak akan menyelesaikan ketegangan.
"Pemerintah meyakini bahwa menunda pemilihan akan menimbulkan lebih banyak kekerasan," kata Wakil Perdana Menteri Phongtep Thepkanjana dalam pidato yang disampaikannya kepada rakyat melalui televisi.
Ia mencatat bahwa, menurut undang-undang, pemilihan harus diselenggarakan secara normal tidak lebih dari 60 hari setelah pembubaran parlemen, yang telah berlangsung pada awal Desember.
(Uu.T008)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2013