• Beranda
  • Berita
  • Pertimbangkan maaf "Jugun Ianfu", Korsel tegur Jepang

Pertimbangkan maaf "Jugun Ianfu", Korsel tegur Jepang

1 Maret 2014 18:50 WIB
Pertimbangkan maaf "Jugun Ianfu", Korsel tegur Jepang
Dokumen foto sejumlah perempuan Korea Selatan yang pernah dijerumuskan menjadi jugun ianfu tentara Jepang dalam Perang Asia Pasifik 1942-1945. (Yonhap)

Semakin lama Jepang menyangkal kebenaran sejarah, maka akan semakin terisolasi dari masyarakat internasional."

Seoul (ANTARA News/AFP) - Korea Selatan (Koresl) menegur Jepang yang berencana mempertimbangkan mengubah permintaan maaf bersejarah atas sistem perbudakan seks dengan menjerumuskan perempuan penghibur (jugun ianfu) di masa penjajahan Perang Dunia (PD) II dan menuduh pihak Tokyo "tidak tulus".

Jepang Senin lalu (24/2) mengumumkan bahwa pihaknya akan memeriksa kembali bukti-bukti yang diberikan para jugun ianfu menjadi dasar pembentukan Pernyataan Permintaan Maaf Kono pada 1993.

"Semakin lama Jepang menyangkal kebenaran sejarah, maka akan semakin terisolasi dari masyarakat internasional," kata Kementerian Luar Negeri Korea Selatan dalam siaran pers yang dikutip oleh kantor berita Yonhap.

Selain itu, Korsel juga mengumumkan, "Pernyataan Kono adalah posisi resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang. Jepang telah sering mengatakan ingin berdialog dengan Korea Selatan, tetapi telah mengulang pernyataan yang mengingkari sejarah. Ini menunjukkan ketidaktulusan pemerintah Jepang."

Pernyataan Kono, yang disebut berdasarkan nama Kepala Sekretaris Kabinet Jepang 1993 Yohei Kono saat meminta maaf atas kasus jugun ianfu,  disusun setelah kesaksian yang didengar dari 16 perempuan Korea Selatan yang pernah dipaksa menjadi penghibur bala tentara Jepang dalam PD II.

Jepang dalam pernyataan itu mengakui keterlibatan pejabat dalam pemaksaan perempuan menjadi budak seks dan menawarkan "permintaan maaf tulus dan penyesalan" kepada para perempuan itu, dan menyatakan bersumpah untuk menerima dengan jujur fakta-fakta sejarah .

Sampai dengan 200.000 perempuan, sebagian besar dari Korea, China, Indonesia, Filipina dan Taiwan, tercatat dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang dalam Perang Asia Pasifik pada 1942-1945.

Namun, sebagian kecil sayap kanan Jepang bersikeras tidak ada keterlibatan resmi oleh negara atau militer, dan menganggap para perempuan tersebut adalah penghibur biasa.

Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga mengatakan kepada parlemen pada Senin lalu (24/2) bahwa pemerintah "ingin mempertimbangkan" menyiapkan tim verifikasi dengan akademisi yang akan melihat lagi pengakuan 16 perempuan Korea yang mendasari Pernyataan Kono.

Namun, mantan Perdana Menteri Jepang Tomiichi Murayama pada Kamis lalu (27/2) menegaskan bahwa langkah yang diambil oleh pemerintah Perdana Menteri Shinzo Abe untuk membuka kembali masalah tersebut tidak akan menghasilkan apapun kecuali menyinggung rakyat Korea Selatan.

Langkah tersebut dinilai sebagai hal terbaru dalam serangkaian pernyataan dan kejanggalan dari pejabat senior di sekitar Abe yang dapat ditafsirkan sebagai mempertanyakan kebijaksanaan yang telah diterima atas perilaku perang brutal Jepang di Asia Timur.

Sebelumnya, seeorang anggota dewan media NHK, seorang pria yang ditunjuk oleh Abe, mengemukakan bahwa kasus "Pemerkosaan Nanking" di China pada 1937, ketika pasukan Jepang melakukan perkosaan massal dan pembunuhan menyusul pendudukan kota itu, telah dibuat untuk tujuan propaganda.

Sejauh ini, tidak ada sejarawan arus utama yang berbagi pandangan yang sama dengan Abe.
(Uu.G003)


Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2014