Samarinda, Kalimantan Timur (ANTARA News) - Ketua Forum Bahasa Media Massa (FBMM) Pusat, TD Asmadi, mengatakan, bahasa Indonesia wajib digunakan untuk berkomunikasi melalui media massa nasional. Hal ini sesuai UU Nomor 24/2009 tentang Bahasa Indonesia, terutama dalam pasal 39 ayat 1.... bahasa Indonesia wajib digunakan untuk berkomunikasi melalui media massa nasional... "
Kemudian pada ayat 2 juga disebutkan, media massa nasional dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing untuk tujuan khusus atau sasaran khusus. Sedangkan dalam penggunaan bahasa daerah atau bahasa asing itu harus tercetak miring atau dalam tanda kutip.
Akan tetapi, banyak nama-nama program, proyek, atau aktivitas publik, dan lain-lain, di Tanah Air dinyatakan secara resmi oleh pejabat yang menjadi sumber berita, dalam bahasa asing atau campuran, misalnya MP3I (Master Plan Percepatan Pembangunan Indonesia), yang ada padanannya, yaitu Rencana Induk Percepatan Pembangunan Indonesia.
Atau program Jakarta Night Market yang digagas Gubernur Jakarta, Joko Widodo, yang bisa dinyatakan sebagai Pasar Malam Jakarta. Juga Traffic Management Center Kepolisian Daerah Jaya, yang bisa diindonesiakan menjadi Pusat Manajemen Lalu-lintas Kepolisian Daerah Jaya.
Menurut dia, kewartawanan itu profesi yang paling berperan dalam perkembangan bahasa sehingga wartawan harus cerdas dalam menggunakan bahasa Indonesia yang benar seseuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Ia mengatakan, "Apabila wartawan salah dalam berbahasa, maka informasi yang disajikan dan sampai ke khalayak akan tidak tepat, bahkan bisa jadi pembaca salah menafsirkan."
Menurut Asmadi, apabila informasi yang disampaikan tidak tepat, bahkan cenderung mengarah pada pembohongan publik, maka hal ini jelas menyalahi kode etik jurnaslistik sehingga wartawan harus menanggung dosa akibat pembohongan itu.
Dia juga mengatakan bahwa dalam perkembangan bahasa Indonesia, secara nasional pada awal perjuangan kemerdekaan, media massa menggunakan nama-nama berbahasa Melayu, kemudian istilah bahasa Indonesia pertama kali ditulis wartawan dan pemimpin redaksi Hindia Baroe yang selanjutnya diperjuangkan pada Konggres Pemuda I pada 1926.
Kemudian dalam perkembangannya menjadi salah satu butir Sumpah Pemuda yang didengungkan bersama oleh putra-putri dari seluruh pelosok negeri. Mereka berkumpul di Batavia (sekarang Jakarta) guna mengucapkan sumpah dan janji pada 28 Oktober 1928 mengenai tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia.
Menurut dia, kewartawanan itu profesi yang paling berperan dalam perkembangan bahasa sehingga wartawan harus cerdas dalam menggunakan bahasa Indonesia yang benar seseuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Ia mengatakan, "Apabila wartawan salah dalam berbahasa, maka informasi yang disajikan dan sampai ke khalayak akan tidak tepat, bahkan bisa jadi pembaca salah menafsirkan."
Menurut Asmadi, apabila informasi yang disampaikan tidak tepat, bahkan cenderung mengarah pada pembohongan publik, maka hal ini jelas menyalahi kode etik jurnaslistik sehingga wartawan harus menanggung dosa akibat pembohongan itu.
Dia juga mengatakan bahwa dalam perkembangan bahasa Indonesia, secara nasional pada awal perjuangan kemerdekaan, media massa menggunakan nama-nama berbahasa Melayu, kemudian istilah bahasa Indonesia pertama kali ditulis wartawan dan pemimpin redaksi Hindia Baroe yang selanjutnya diperjuangkan pada Konggres Pemuda I pada 1926.
Kemudian dalam perkembangannya menjadi salah satu butir Sumpah Pemuda yang didengungkan bersama oleh putra-putri dari seluruh pelosok negeri. Mereka berkumpul di Batavia (sekarang Jakarta) guna mengucapkan sumpah dan janji pada 28 Oktober 1928 mengenai tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia.
Pewarta: M Ghofar
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2014