Jakarta (ANTARA News) - Tumbuhan karnivora nepenthes atau yang lebih dikenal dengan sebutan kantung semar menjadi semakin populer.Dalam waktu satu minggu biasanya mati jika tidak tahu merawatnya. Yang beli kantung semar rugi, alam juga rugi karena tumbuhan ini lama tumbuh."
Bentuknya yang unik serta cara tumbuhan ini memperoleh makanan menarik perhatian banyak orang.
Tidak heran jika semakin banyak yang memburu tumbuhan yang lebih senang hidup di daerah bersuhu dingin dan basah ini, terutama saat mengetahui harga jualnya yang tinggi.
Menurut peneliti pada Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhammad Mansur, kantung semar awalnya memang dikenal sebagai tumbuhan pemakan serangga.
Namun, ditemukannya beberapa hewan kecil seperti katak, kadal, tikus di dalam kantung semar mematahkan anggapan bahwa tumbuhan ini hanya menjerat serangga.
Secara ilmiah memang belum diketahui khasiat tumbuhan yang memiliki daun berbentuk kantung ini.
Menurut Mansur, belum ada yang melakukan peneliti Indonesia khusus mencari tahu khasiat dari nepenthes, sedangkan peneliti asing telah lebih dulu mencari tahu manfaat enzim tumbuhan ini dan memanfaatkan untuk kosmetik hingga obat.
"Memang ada masyarakat Kalimantan yang menggunakan kantung semar sebagai obat mata dan obat batuk, dengan cara meminum enzim yang ada di dalam kantungnya. Tapi belum ada peneliti di sini yang khusus meneliti khasiatnya," ujar dia.
Ada juga, menurut dia, masyarakat yang memanfaatkan kantung semar untuk tempat memasak ketupat atau memasak nasi.
"Ada beberapa jenis kantung semar yang kuat, jadi tidak masalah dimasak".
Namun yang jelas masyarakat yang memang hidup dari hutan meminum enzim dalam kantung semar ketika kesulitan memperoleh air ketika berada di gunung.
"Yang bisa diminum tentunya yang belum terbuka, kalau sudah terbuka bisa bercampur macam-macam, air hujan, serangga, sudah tidak bisa diminum," ujar dia.
Ketua Harian Komunitas Tanaman Karnivora Indonesia (KTKI) Jhon Muhammad Rasuly Suaidy mengatakan, peneliti India diketahui telah mencoba mengembangkan enzim dalam kantung semar menjadi obat penghancur batu ginjal.
Sementara peneliti Prancis memanfaatkan enzim itu untuk kepentingan industri.
Menurut dia, sudah saatnya peneliti-peneliti Indonesia seharusnya sudah dapat menjadikan tumbuhan Nepenthes ini sebagai bahan penelitian.
Hal ini menjadi penting karena dengan plasma nutfah yang Indonesia miliki, seharusnya pemanfaatannya harus dioptimalkan di dalam negeri.
Perdagangan liar
Terdapat 139 spesies Nepenthes di dunia. Sebanyak 64 spesies ada di Indonesia, sedangkan sisanya ditemukan di Vietnam, Malaysia, Filipina, Thailand, dan India.
Pada awal tahun 1980-an diketahui hanya 80 spesies Nepenthes di dunia. Jumlah spesies tumbuhan ini bertambah dengan eksplorasi di beberapa negara, termasuk Filipina yang baru-baru ini melakukan eksplorasi mencari tumbuhan ini.
Menurut Muhammad Mansur, jika di tahun 1990-an 60 persen spesies Nepenthes terdapat di Indonesia, dengan ditemukannya lagi spesies ini di Filipina maka persentase di Indonesia menurun.
"Kalau ditanya di wilayah mana spesies Nepenthes terbanyak ditemukan, jawabannya Sumatra. Tapi kalau di tanya pulau ya Borneo (Kalimantan, Brunei, dan Malaysia)," ujar dia.
Menurut dia, di seluruh pulau-pulau besar di Indonesia telah ditemukan spesies kantung semar ini, kecuali di Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Kemungkinan, kondisi daerah yang kering membuat tumbuhan ini tidak tumbuh di sana.
Sementara itu, menurut Jhon, keberadaan tumbuhan yang hidup di dataran rendah hingga dataran tinggi ini semakin terancam oleh perdagangan liar.
"Mereka bertransaksi secara online, dan memanfaatkan sosial media untuk bertransaksi. Kami (KTKI) tidak tahu bagaimana prosedurnya untuk melaporkan kegiatan ini, itu masalahnya," ujar dia.
Ia mengatakan, perburuan kantung semar semakin menjadi, karena masyarakat tahu nilai jual tumbuhan ini yang tinggi.
Ancaman terhadap Nepenthes di alam semakin besar, masyarakat mengambil tanpa mengetahui merawat tumbuhan tersebut.
Menurut Muhammad Mansur, Nepenthes yang memiliki akar serabut sangat sensitif jika dicabut begitu saja dari tempat hidupnya.
"Dalam waktu satu minggu biasanya mati jika tidak tahu merawatnya. Yang beli kantung semar rugi, alam juga rugi karena tumbuhan ini lama tumbuh".
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pembeli-pembeli kantung semar lebih banyak dari dalam negeri, karena mereka yang di luar negeri biasanya akan menolak jika bukan hasil budidaya.
"Mereka tahu kalau yang berasal dari alam akan lebih cepat mati jika dicabut. Mereka beli biasanya yang hasil budidaya, karena lebih kuat," ujar dia.
Sejauh ini, menurut dia, ancaman terhadap kantung semar lebih besar dari perdagangan liar dibading pembalakan atau kebakaran hutan.
Karena itu pula Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membuka Rumah Nepenthes sebagai salah satu upaya menyelamatkan tumbuhan kantung ini.
Kepala UPT BKT Kebun Raya Cibodas Agus Suhatman mengatakan sudah ada 55 spesies dan 48 hibrida Nepenthes yang ada di Rumah Kantung Semar di Kebun Raya Cibodas.
Banyak dari Nepenthes di tempat tersebut merupakan sumbangan dari anggota Komunitas Tanaman Karnivora Indonesia (KTKI).
Beberapa di antaranya berasal dari Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina, dan India.
Upaya membangun Rumah Kantung Semar ini, menurut dia, telah diupayakan sejak lima tahun lalu bersama dengan Komunitas Tanaman Karnivora Indonesia.
Dengan adanya Rumah Nepenthes penelitian dan pengembangan untuk tujuan budidaya akan semakin digiatkan.
Langkah konservasi dengan melibatkan masyarakat seperti yang telah dilakukan bersama Komunitas Tanaman Karnivora Indonesia diharapkan dapat semakin diperluas.
Oleh Virna P. Setyorini
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014