Iwan Abdulrachman dan ironi Si Burung Camar

27 April 2014 12:19 WIB
Iwan Abdulrachman dan ironi Si Burung Camar
Iwan Abdulrachman saat bernyanyi dan berpuisi pada acara "Roadshow Menjadi Indonesia" di Bale Rumawat Universitas Padjadjaran Bandung, Jawa Barat, Rabu (17/10). (FOTO ANTARA/Agus Bebeng)
Jakarta (ANTARA News) - Kepalanya plontos. Sepasang titik gelap ada di keningnya. Tubuh gempalnya dibalut kemeja kasual warna cokelat muda serupa padang pasir dan celana hitam.

Lelaki itu Ridwan Armansjah Abdulrachman atau Iwan Abdulrachman atau Abah Iwan. Pencipta lagu-lagu fenomenal seperti "Burung Camar" dan "Melati dari Jayagiri."

Usianya kini 67 tahun. Tak muda lagi, memang. Tapi jangan katakan itu padanya. Di hatinya selalu berkobar api unggun Wanadri yang menghangatkan para pendaki gunung.

"Api unggun itu selalu bernyala di hati, sehingga Abah selalu merasa muda," kata musisi kelahiran Sumedang itu.

Iwan tidak sedang berbicara kepada anak muda calon anggota Wanadri melainkan di depan para pejabat senior di rumah Menteri Perindustrian Mohamad Suleman Hidayat.

Dia mengamen di rumah sang Menteri disaksikan kandidat calon presiden dari Partai Golkar Aburizal Bakrie.

Hidayat kaget ketika mendengar kabar karibnya di Institut Teknologi Bandung itu akan mendaki Gunung Everest bulan Mei ini. "Lu, ngamen aja di rumah saya," katanya.

Dia khawatir pada sahabatnya itu. Usianya tidak muda lagi dan dia mendaki gunung tertinggi di dunia itu hanya bersama salah satu anaknya.

Kepada kawannya Iwan menjelaskan alasannya mendaki Everest. Dia mengutip pernyataan pendakit gunung legendaris Inggris George Herbert Leigh Mallory (1886-1924) yang tewas dalam ekspedisi Everest 1924.

Mallory, yang banyak melakukan ekspedisi pendakian, juga sering mendapat pertanyaan serupa. Jawabannya, "Because it's there".

Dan tiga kata itu pula yang Iwan sampaikan dalam forum yang dihadiri oleh mantan menteri Sarwono Kusumaatmadja dan Marzuki Darusman tersebut.

Dalam pertemuan itu, dengan gitar kuningnya Iwan bernyanyi di hadapan sahabat dan koleganya.

"Inilah artinya persahabatan. Teman, lu, teman gua juga," katanya.

Masing-masing orang punya tugas sesuai kompetensinya. Jika, semua potensi itu disatukan Indonesia akan jadi bangsa yang luar biasa, lanjutnya.


Ironi


Dalam dunia nyata, ironi selalu ada. Iwan, yang pernah mengikuti kursus ketentaraan di Alabama, Amerika Serikat, menunjukkannya dalam lagu "Burung Camar" yang dilantunkan oleh Vina Panduwinata.

Lagu yang melodinya digubah oleh Aryono Huboyo Djati itu ditawarkan kepada Iwan tanpa lirik. Setelah sedikit perdebatan kecil, Aryono menyatakan melodi itu tentang laut.

"Kalo gitu, aku harus ke pantai," kata Iwan. Dia pun pergi ke pantai selama beberapa hari untuk meresapi alam dan kehidupannya. Lalu terciptalah lagu berirama riang di awal dengan ironi pada pada reffrainnya.

Iwan memetik gitarnya. Lalu menyanyi.

"Tiba-tiba ku tertegun lubuk hatiku tersentuh.
Perahu kecil terayun nelayan tua di sana.
Tiga malam bulan tlah menghilang.
Langit sepi walau tak bermega.
"

Iwan menjelaskan, syair lagu itu menceritakan tentang nelayan tua yang menangkap ikan untuk orang banyak ternyata tiga malam belum makan. Tidak ada yang peduli dengan kondisi ini, dari dulu hingga kini.

Ironi juga terlihat pada reffrain berikutnya:

"Tiba-tiba kusadari lagu burung camar tadi.
Cuma kisah sedih nada duka hati yang terluka.
Tiada teman berbagi derita
Bahkan untuk berbagi cerita.
"

Nada riang diawal lagu yang memikat pendengaran bertolak belakang dengan reffrain ke-2 yang menyatakan bahwa ini adalah lagu sedih tentang anak bangsa yang terluka dan tidak ada yang peduli, bahkan hanya untuk sekadar berbagi cerita.

"Kondisi itu masih terjadi hingga saat ini. Orang-orang kecil yang berjasa seperti petani, nelayan dan lainnya dilupakan," demikian Iwan Abdulrachman.


Oleh Erafzon Saptiyulda AS
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014