"Mainan tradisional yang diproduksi di tempat kami susah ber-SNI mengingat mainan yang kami buat sangat sederhana," kata Koordinator Kampung Dolanan Pandes, Desa Panggungharjo, Bantul, Hosni Bimo Wicaksono.
Menurut dia, di Kampung Dolanan Pandes terdapat delapan perajin yang memproduksi berbagai mainan anak tradisional yakni wayang kertas, othok-othok, klonthongan, payung, manukan, kitiran, klothok, angkrek, kembangan dan pitik angrem.
"Kami tidak tahu, aturannya bagaimana, sepertinya juga akan susah untuk mengejar produk ber-SNI mengingat syarat dan prosesnya tidak mudah," katanya.
Menanggapi keresahan sejumlah perajin mainan tersebut, kini Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta berkonsultasi dengan pemerintah pusat terkait aturan mainan anak harus memiliki SNI.
"Kami sudah ada 20 item mainan anak produksi Bantul yang akan dikonsultasikan ke Jakarta (pemerintah pusat), apakah ini semua wajib (SNI) atau tidak," kata Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Bantul, Sulistyanto.
Menurut dia, pemerintah mulai menerapkan Peraturan Menteri Perindustrian tentang pemberlakukan SNI mainan anak per 30 April 2014, namun dalam aturan itu tidak menyebutkan secara spesifik mainan yang dimaksud apakah yang diproduksi pabrik atau tidak.
"Dalam peraturan disebutkan untuk semua jenis mainan anak, sementara yang diproduksi di Bantul umumnya mainan tradisional, misalnya layang-layang, othok-othok, puzzle dan mainan edukasi, apakah itu juga harus SNI?," katanya.
Apalagi, kata dia untuk memenuhi persyaratan agar produk mainan bisa SNI, pengusaha harus mengeluarkan anggaran Rp3 juta, tentunya hal ini akan memberatkan bagi perajin mainan anak yang omzetnya tidak besar.
"Bagaimana mungkin kalau misalnya omzetnya hanya Rp300 ribu harus bayar Rp3 juta untuk proses SNI, artinya perajin ini juga harus diperhatikan," kata Sulistyanto.
Pewarta: Heri Sidik
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014