"Saya dulu berpikir kalau pertunjukan diulang itu akan lebih mudah tetapi ternyata lebih sulit. Karena artistiknya bisa berbeda, kursinya yang tadinya ada di kanan bisa-bisa pindah ke kiri lalu properti yang tadinya ada menjadi tidak ada," ujar Happy dalam konferensi pers pementasan Monolog Inggit di Jakarta, Senin.
Tak hanya itu, bagi Happy, kesulitan lainnya adalah soal merawat semangat untuk tetap mementaskan lakon Inggit.
"Bagaimana kita merawat semangat itu tidak mudah," tambahnya. Terlebih dalam pementasan Monolog Inggit ke 12 kali ini, akan ada sejumlah unsur yang ditambahkan, seperti tarian dan musik Gamelan Sunda.
"Lalu karena pengadegan nanti digabungkan dengan tarian, itu tidak mudah juga bagaimana menyatukan realis tetapi juga surealis," ungkapnya.
Kendati demikian, dia mengaku belajar banyak dari pementasan ini, seperti belajar memahami diri secara mendalam dan bersikap lebih fleksibel.
"Walaupun sulit, saya seperti mempelajari diri sendiri. Saya mengenal diri sendiri secara mendalam, belajar menjadi dewasa dengan proses berkesenian, salah satunya di panggung," kata dia.
Menurut Happy, cerita dalam Monolog Inggit masih memiliki konteks kekinian, yakni tentang sosok penting dibalik orang-orang yang selama ini dikenal hebat oleh hampir semua orang.
"Tentu kontekstualnya sangat kuat dengan masa sekarang bahwa banyak orang-orang penting yang dekat dengan orang-orang yang selama ini kita kenal hebat," katanya.
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014