Kepala Barantan Kementan Banun Harpini dihubungi Antara di Jakarta, Kamis, mengatakan selama ini penindakan terhadap pengedar daging celeng baru menyentuh pelaku yang diduga hanya menjadi anggota jaringan, bukan otak jaringan peredaran itu.
"Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Selama ini kami tangkap sopir-sopir bus atau angkutan yang mendistribusikan daging celeng ini. Ketika diinterogasi, siapa pelaku utamanya, para sopir ini sulit mengaku," ujarnya.
Dia mengatakan pasokan daging celeng ini berasal dari perburuan liar di hutan-hutan di Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan yang kemudian dipasok ke wilayah Jabodetabek.
Pelaku utama peredaran daging celeng ini diduga yang melakukan perburuan liar tersebut.
Menurut Banun, penyelundupan daging ini dilakukan dari daerah di tiga propinsi itu menggunakan kapal-kapal angkut berukuran kecil.
"Maka itu perlu kerja sama yang kuat dengan sektor hulu di hutan, dan juga penindakan di peredarannya," ujarnya.
Untuk pencegahan peredaran daging celeng di sektor hulu, Barantan, kata Banun, telah berkoordinasi dengan Badan Konservasi Sumber Daya Alam Kementerian Kehutanan, untuk menindak perburuan liar.
Kemudian, tambahnya, penindakan di peredaran juga telah ditingkatkan dengan bekerja sama dengan Polisi Air Kepolisian Daerah yang dianggap rentan menjadi jalur distribusi daging tersebut seperti Lampung dan Banten.
Selain itu, peredaran daging celeng ke Pulau Jawa juga memanfaatkan angkutan bus-bus dan truk niaga. Maka itu, Banun mengatakan, koordinasi dengan perusahaan swasta pemilik bus dan truk juga telah dilakukan, meskipun dia mengakui hasilnya belum maksimal.
"Barantan juga kerja sama dengan Organda (Organisasi Pengusaha Nasional Indonesia Angkutan Bermotor di Jalan) dan PO-PO swasta untuk sosialisasikan ke supir mereka untuk hati-hati dengan maraknya peredaran daging celeng ini," tukasnya.
Banun mengungkapkan peredaran daging celeng ini, apalagi jika sampai ke pasaran, sangat berbahaya, karena di dalam daging tersebut banyak mengandung cacing, --sejenis cacing pita--, yang dapat berdampak negatif bagi kesehatan manusia.
Hingga saat ini, lanjut dia, konsumsi daging celeng untuk alasan apapun, termasuk untuk pakan hewan dinilai berbahaya.
Maka dari itu, peredaran daging celeng, yang tidak menggunakan sertifikat sanitasi atau sertifikat karantina lainnya, dianggap sebagai peredaran ilegal. Hal itu juga termaktub dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan.
Berdasarkan data Barantan Kementan, dari Januari hingga Mei 2014, sebanyak 3,3 ton daging celeng sudah disita dan dimusnahkan.
Mayoritas daging celeng itu diamankan aparat Barantan di jalur Lampung menuju Banten.
Pada 2013, Barantan mencatat sebanyak 12 ton daging celeng disita dan dimusnahkan.
Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014