Metamorfose serangan militan Xinjiang

23 Mei 2014 19:57 WIB
Metamorfose serangan militan Xinjiang
Seorang warga melintas di dekat perabotan yang hancur di depan kantor polisi setelah terjadi bentrokan di Hotan, Daerah Otonomi Uygur, Xinjiang, China, beberapa waktu lalu (REUTERS/Xinhua/Cao Zhiheng)
Beijing (ANTARA News) - Pemboman sebuah pasar rakyat di Xinjiang menunjukkan pergeseran taktik para militan ke serangan teror yang lebih spektakuler yang memicu respons tidak sebanding dari Tiongkok sehingga meradikalisasi kaum muslim Uighur di sana, kata para analis seperti dikutip AFP.

Sedikitnya 31 orang tewas dan lebih dari 90 orang terluka ketika para penyerang melemparkan bahan peledak dan menambrakkan dua kendaraan ke arah kerumunan orang di Urumqi, ibukota provinsi itu, Kamis waktu setempat.

Kawasan kaya minyak yang diguncang kerusuhan antar-etnis yang menewaskan sekitar 200 orang pada 2009 itu menjadi terbiasa diserang aksi kekerasan antara pihak berwenang Tiongkok dan minoritas muslim Uighur.

Namun peristiwa terakhir terjadi ini terbilang baru dari skala, teknik dan targetnya yang langsung ke warga sipil, kata para pakar kepada AFP.

"Pada masa lalu di Xinjiang, Anda terbiasa menyaksikan aksi individual menyasar pejabat pemerintah dan polisi," kata Michael Clarke, profesor pada Universitas Griffith di Brisbane yang menulis satu buku mengenai kebijakan Beijing di provinsi itu.

"Kini sepertinya telah terjadi pergeseran ke aksi serangan yang jauh lebih tak pandang bulu, yang adalah model dari serangan teror klasik.

"Ini serangan yang sangat hebat di tengah ibukota provinsi itu," kata Clarke seraya menambahkan bahwa serangan itu memiliki tingkat kecanggihan baru dibandingkan insiden-insiden serangan sebelumnya dan terjadi di kawasan yang penduduknya sebagian besar etnis Han yang adalah mayoritas di Tiongkok.

Kebanyakan yang terbunuh dan terluka adalah kaum lanjut usia yang sedang berbelanja.  Gedung Putih menyebut aksi ini "serangan teroris yang menakutkan" yang disebut stasiun televisi Tiongkok CCTV sebagai untuk pertama kalinya Washington menggunakan istilah itu untuk terhadap peristiwa yang terjadi di dalam perbatasan Xinjiang.

Itu terjadi hanya beberapa pekan setelah serangan penusukan dan peledakan di stasiun kereta Urumqi yang merenggut dua orang penyerangnya dan seorang warga tewas serta 79 orang terluka.

Serangan hebat lainnya yang terjadi di seantero Tiongkok dalam setahun terakhir juga dituduhkan sebagai perbuatan kaum separatis dari Xinjiang.

Penusukan massal di sebuah stasiun kereta di kota barat daya Tiongkok, Kunming, Maret lalu telah menewaskan 29 orang dan melukai 143 orang.  Oktober tahun silam, tiga anggota keluarga dari Xinjiag terbunuh ketika mereka memarkir kendaraan di tengah kerumunan turis di Lapangan Tiananmen, Beijing.

Untuk perkeras radikalisasi

Gardner Bovingdon, cendikiawan terkemuka Xinjiang pada Universitas Indiana, mengatakan bahwa Beijing sangat mengendalikan arus informasi dan tak tahu pelaku aksi teror itu atau motivasinya.

Namun serangan-serangan itu bisa merupakan sebuah strategi politique de pire (bermotif politik), kata dia seraya menyatakan aksi para militan ini adalah untuk memprovokasi penumpasan lebih keras dari aparat sehingga makin meradikalisasi warga Uighur yang akhirnya makin mudah bagi para militan untuk merekrut orang.

"Jika kita anggap lagu ini dimainkan untuk jangka panjang, perhitungannya akan menjadi 'Kami kini memilih kekerasan, negara menumpas, Uighur menjadi marah dan makin banyak Uighur yang bergabung," kata Bovingdon, yang dilarang mengunjungi Xinjiang selama lebih dari satu dekade oleh pihak berwenang Tiongkok.

"Saya kira ini adalah kalkulasi serupa seperti warga Palestinan yang melakukan pemboman," sambung dia. "Sejumlah kecil orang yang bersedia menempuh jalan kekerasan, melakukan hal yang akan berdampak sebaliknya pada kebanyakan penduduk."

Partai Komunis Tiongkok sudah lama mengaitkan serangan di Xinjiang ini dengan kelompok-kelompok teror yang berbasis di luar negeri, termasuk Partai Islam Turkestan dan Gerakan Islam Turkestan Timur.

Kebanyakan pakar meragukan tuduhan itu, bahkan beberapa di antara mereka menyebut Beijing membesar-besarkan ancaman dari kelompok-kelompok semacam itu untuk mengesahkan langkah-langkah kerasnya.

Ketegangan Xinjiang malah dipicu oleh penindasan budaya dan agama, di samping kekecewaan bahwa pembangunan ekonomi lebih banyak menguntungkan etnis Han, kata mereka.

Koran Tiongkok Global Times yang dekat dengan partai berkuasa dan biasanya bersuara nasionalistis, mengakui dalam editorialnya Jumat ini bahwa "kebijakan yang salah di masa lalu turut menyumbang terciptanya penderitaan di masa sekarang."

Christopher Johnson, penasihat senior pada Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) di Washington, mengatakan bahwa dalam jangka pendek dibutuhkan kebijakan pemerintah yang lebih liberal.

Dia menambahkan, "Cepat atau lambat, saya kira mereka harus menerima realitas itu, karena buktinya sudah menampar wajah mereka sendiri."

Kaum militan Uighur di Xinjiang berpotensi menjadi lebih dipengaruhi taktik-taktik kelompok-kelompok radikal muslim lainnya di kawasan lain, kata Clarke.  Namun, sambung dia, masalah yang sebenarnya tengah memperihatinkan masyarakat Uigher yang lebih luas lagi.

"Mengapa kita menghadapi radikalisasi yang lebih luas pada elemen-elemen pinggiran?" tanya dia, seraya menunjuk penangkapan Ilham Tohti, seorang akademisi moderat Uighur yang mengkritik kebijakan Beijing di Xinjiang, Januari lalu.

Tohto didakwa separatisme yang sanksinya adalah hukuman mati.

"Dia tak pernah menyerukan kemerdekaan Xinjiang," kata Clarke. "Jika suara moderat seperti itu saja dibungkam, maka rasanya tak ada kesempatan untuk mengungkapan keberatan secara sah."(*)


Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014