"Ternyata serat kasar dari bungkil inti sawit mengandung karbohidrat mannan yang tinggi. Mannan dapat digunakan sebagai bahan aditif menghambat pertumbuhan bakteri patogen dalam saluran pencernaan," kata Prof Dr Ir Nahrowi, M.Sc, salah satu peneliti produk samping sawit dari IPB di Bogor, Sabtu.
Prof Nahrowi menyebutkan latar belakang penelitian yang dilakukan sejumlah peneliti IPB tersebut adalah karena Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit di dunia.
Tingginya angka produksi minyak sawit di Indonesia dibarengi dengan tingginya angka hasil samping sawit yang dihasilkan.
Sejumlah peneliti IPB yang terdiri dari Prof Dr Ir Nahrowi, M.Sc, Dr Ir Komang. G. Wiryawan, Ph.D, Kamaluddin Zarkasie, Drh. Kamaluddin Zarkasie, PhD, Dr. Ir. Maruf Tafsin, M.Si, Yanto, dan Syahruddin, M.Si melakukan pemanfaatan hasil samping sawit tersebut.
"Awalnya dari penelitian ini, kami melihat bungkit sawit (BIS) yang merupakan hasil samping dari proses pengolahan minyak inti sawit jumlahnya sangat banya. Pemanfaat bungkil inti sawit untuk makanan ternak unggas (broiler dan layer) masih sangat minim," ujar Prof Nahrowo.
Menurut Prof Nahrowi, kebanyakan bungkil inti sawit banyak diekspor dari pada dipakai di dalam negeri. Padahal hasil samping sawit tersebut kaya akan konstrain yang bisa dimanfaatkan.
Beberapa kontrain yang ada pada bungkil inti sawit diantaranya, kadungan serat yang tinggi dan kandungan protein kasar yang rendah yakni sekitar 16 hingga 18 persen.
Tim peneliti IPB melihat konstrain-konstrain yang ada di dalam bungkil inti sawit bukan sebagai faktor pembatas tetapi sesuatu yang bisa diambil manfaatnya.
Inovasi proses pengolahan bungkil inti sawit dengan kombinasi proses mekanik dan kimia tersebut dapat menghasilkan dua produk sekaligus.
"Kalau kita bisa mengisolasi mannan dari bungkil inti sawit maka kandungan proteinnya semakin meningkat. Dari inovasi tersebut dapat menghasilkan dua produk yakni karbohidrat mannan dan konsentrat protein," ujarnya.
Kedua produk ini lanjut Prof Nahrowi, memiliki kelebihan diantaranya produk serupa yang di dapat dari sumber lain. Pada produk mannan, Amerika memproduksi mannan dari ragi yang memerlukan industri fermentasi tempat mengkuluturkan ragi tersebut.
Sementara, di Indonesia hanya menggunakan hasil samping sawit yang kaya mannan sehingga tidak perlu lagi kultur dan industri tersebut.
"Kelebihan kita dalam memproduksi mannan di banding Amerika adalah lebih ekonomis dalam menghasilkan mannan ketimbang dari ragi. Dan, nilai manfaatnya tidak kalah dari ragi," ujar Prof Nahrowi.
Sedangkan untuk produk konsentrat protein, lanjut Prof Nahrowi, nilai kecernaan dari konsentrat protein bungkil inti sawit lebih baik dari sumber protein yang lain karena dihasilkan dari protein yang larut dalam air.
Walaupun, secara alami kandungan asam amino bungkil inti sawit kalah dari komposisi asam amino dari bungkil kedelai tetapi dapat dilakukan fortifikasi supaya kandungan asam amino di konsentrat protein sawit sebanding dengan kedelai.
Lebih lanjut Prof Nahrowi menjelaskan, produk konsentrat protein bungkil inti sawit memiliki kandungan protein kasar hingga 44 persen menyerupai bungkil kedelai, sehingga dapat dijadikan alternatif bungkil kedelai. Sedangkan produk mannan bungkil inti sawit bersifat menghambat pertumbuhan bakteri patogen, sehingga dapat digunakan sebagai antibiotik alternatif.
Prof Nahrowi menambahkan, produk inovasi yang dihasilkan tim peneliti IPB tersebut telah memperoleh anugrah "105 Inovasi Indonesia" dari Kementerian Riset dan Teknologi, dan Business Innovation Center (BIC) karena memiliki beberapa keunggulan lainnya di antaranya ketersediaan pasokan bungkil inti sawit yang terjamin, kualitas produk tergolong baik dan bisa menggantikan produk sejnis lainnya.
"Keunggulan lainnya, produk sejenis lainnya, mengurangi ketergantungan impor pakan aditif. Sehingga produk ini cocok diaplikasikan di industri yang bergerak di bidang pakan dan obat-obatan," ujar Prof Nahrowi.
Pewarta: Laily Rahmawati
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014