"Meski pelaksanaan tahun ini bersamaan dengan Piala Dunia, Bakar Tongkang tetap ramai karena diperkirakan lebih dari 40 ribu wisatawan yang datang," kata Asisten III Bidang Kesejahteraan Rakyat Setdakab Rokan Hilir, Azhar A., kepada Antara.
Ia mengatakan, mayoritas wisatawan merupakan warga keturunan Tionghoa asal Bagansiapi-api, yang khusus kembali ke tanah leluhur mereka untuk mengikuti acara tersebut.
"Wisatawan asing ada yang datang dari Singapura, Australia, Taiwan dan Malaysia. Sedangkan wisatawan lokal banyak datang dari Jakarta, Medan, Surabaya, Cirebon, dan daerah-daerah di Provinsi Riau sendiri," katanya.
Tokoh masyarakat Tionghoa Bagansiapi-api, Tan Guan Tio (88), mengatakan sudah menjadi tradisi untuk warga setempat yang merantau untuk kembali ke Bagansiapi-api menghadiri Bakar Tongkang sebagai wujud syukur.
Puncak ritual tersebut akan digelar pada Sabtu petang (14/6) dengan membakar replika kapal tongkang yang merupakan puncak ritual Go Gwe Cap Lak atau Bakar Tongkang.
Acara tersebut merupakan ritual warga Tionghoa Bagansiapi-api dalam mengekspresikan rasa syukur mereka kepada Dewa Laut atau Dewa Kie Ong Ya yang telah memberikan hidup lebih baik.
"Orang-orang tua masih percaya, arah tiang tongkang yang jatuh akan menunjukkan rezeki tahun ini. Kalau tiang jatuh ke laut, maka rezeki banyak di usaha di laut dan kalau ke darat maka sebeliknya rezeki banyak di darat," katanya.
Seorang warga setempat, Lonstam (50), mengatakan perputaran uang dalam ritual Bakar Tongkang cukup besar. Contoh paling kecil, lanjutnya, bisa dilihat dari persiapan ritual dilihat dari ratusan hio (dupa) raksasa, lilin dari ukuran kecil hingga setinggi 1,5 meter, hingga uang kuning untuk sembahyang yang disumbang oleh warga dari berbagai penjuru daerah.
"Semuanya itu disumbangkan oleh warga Bagansiapi-api yang merantau, agar mereka didoakan makin banyak rezeki dan untuk membantu saudara-saudara di Bagansiapi-api," kata Lonstam yang sudah delapan tahun terakhir mengurus perasapan hio di ritual Bakar Tongkang.
Ia mengatakan, ratusan hio raksasa disumbang warga untuk ritual tahun ini yang dibakar selama dua hari terakhir.
Harganya yang paling murah Rp100 ribu dan yang ukuran raksasa setinggi dua meter harganya sampai jutaan Rupiah.
Bagi warga Bagansiapi-api, ritual ini jauh lebih sakral dibandingkan dengan perayaan Imlek maupun Cap Go Meh.
Hampir seluruh warga Tionghoa kelahiran Bagansiapi-api pulang dari seluruh penjuru, baik dari berbagai kota dalam negeri maupun mancanegara.
Ritual ini bermula dari legenda perantauan 18 warga Tionghoa dari Fujian, dipimpin Ang Mie Kui, yang menyeberangi lautan dari daratan Tiongkok pada tahun 1820.
Saat itu, Fujian tengah dilanda krisis pangan dan dikuasai oleh rezim Siam yang tiran.
Mereka mengarungi samudra untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Mereka membawa serta patung Dewa King Ong Ya di atas kapal.
Para perantauan itu sempat kehilangan arah dan nyaris putus harapan sebelum akhirnya melihat cahaya dari daratan, yang akhirnya menjadi tempat tinggal baru mereka dan diberi nama Bagansiapi-api.
Kabarnya mereka lantas membakar kapal yang mereka bawa sebagai bentuk sumpah bahwa mereka akan menetap di Bagan.
Sejak saat itu, replika perahu atau tongkang yang terbuat dari bambu, kayu, dan kertas dibakar sebagai bentuk syukur.
Pewarta: FB Anggoro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014