Komitmen Indonesia kembangkan "drone"

26 Juni 2014 00:13 WIB
Komitmen Indonesia kembangkan "drone"
ilustrasi Drone/ pesawat tak berawak militer Amerika Serikat (reuters)
Jakarta (ANTARA News) - Dukungan kuat untuk memajukan industri pertahanan dalam negeri telah diutarakan dengan tegas oleh calon presiden Prabowo Subianto dan Joko Widodo agar Indonesia tidak tergantung terus ke negara lain.

Dalam debat ketiga yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu, capres Joko Widodo berulang kali menyebukan rencananya mengembangkan pesawat "drone" atau tanpa awak, serta menggunakan teknologi hybrid dan cyber untuk menjaga kedaulatan Indonesia. Hal yang sama juga disampaikannya dalam debat sebelumnya.

Pesawat tanpa awak itu juga akan digunakan untuk pemantauan dan melindungi perairan Indonesia dari kasus pencurian ikan, meski rencana itu juga mendapatkan kritikan keras sehubungan pengoperasiannya butuh biaya dan satelit, sementara perusahaan telekomunikasi Indosat telah dijual ke Singapura.

Kubu Jokowi menyebutkan "drone" berbiaya murah, namun lebih efektif dalam melindungi maritim Indonesia. Kerugian yang diakibatkan pencurian ikan oleh nelayan asing setiap tahunnya diperkirakan sedikitnya Rp300 triliun. Sementara harga satu pesawat tanpa awak diperkirakan hanya Rp20 miliar.

Biaya pengoperasian diklaim murah, juga menggunakannya tak rumit. Pesawat drone itu, menurut Jokowi, akan dioperasikan di tiga kawasan, yaitu Timur, Barat, dan Tengah Indonesia.

Penggunaan drone itu selain berguna untuk pertahanan, juga disebutkan bermanfaat untuk melindungi kekayaan Indonesia.

Sementata itu, capres Prabowo Subianto juga tak kalah tegas untuk menyatakan dukungannya dalam memodernisasi industri pertahanan dalam negeri, serta mendukung pembelian tank tempur utama Leopard II dari Jerman. Meski pembeliannya ditentang Jokowi, namun Menhan Purnomo Yusgiantoro menyebutkan tank Leopard sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Indonesia.

Meski demikian, dukungan kedua capres itu terhadap modernisasi industri pertahanan nasional merupakan tantangan keras bagi industri strategis dalam negeri untuk menjawabnya.

Banyak negara dalam sepuluh tahun terakhir berlomba-lomba mengembangkan pesawat tanpa awak, termasuk Indonesia. Ketika mantan Presiden AS George W Bush mengumumkan "Perang Atas Teror", CNN menyebutkan Pentagon hanya memiliki kurang dari 50 pesawat tanpa awak. Kini, negara adi daya itu memiliki lebih dari 7.500 pesawat.

Sejauh ini, baru AS, Israel dan Inggris yang diketahui telah menggunakan pesawat tanpa awak atas musuh mereka. Belakangan ini banyak negara sudah menggunakan drone, seperti Korea Utara yang dilaporkan telah mengirimkannya ke wilayah Korsel.

Namun, pesawat tanpa awak juga digunakan Republik Rakyat Tiongkok untuk memantau suatu kepulauan tak berpenghuni di Laut Tiongkok Selatan yang disengketakan oleh Jepang, Tiongkok, dan Taiwan.

Karena biayanya cukup murah dan efektivitas yang lebih tinggi yang menyebabkan banyak negara mengembangkan pesawat tanpa awak. Misalnya harga pesawat militer berawak seperti F-35C mencapai 63 juta dolar AS. Pesawat supersonik itu memang memiliki multi fungsi, seperti pertempuran udara ke udara, dukungan udara jarak dekat dan pengeboman taktis. Harga drone jauh lebih murah, padahal sebagian peran pesawat berawak itu sudah diambil alih drone.

Pengoperasian "drone" tak menimbulkan risiko kehilangan awaknya meski dioperasikan di medan yang sangat berat, sementara risiko kehilangan pilot cukup besar di pesawat tempur berawak.

Di masa depan, penyerangan dan perang udara (dog fight) bukan tidak mungkin akan diperankan oleh pesawat-pesawat tempur tanpa awak ini (unmaned combat aerial vechile (UCEV), bukan lagi pesawat tempur konvensional. Pesawat tanpa awak bisa dikendalikan secara otomatis oleh komputer yang ditaruh dalam pesawat, atau dikendalikan menggunakan remote control, atau bisa juga dikendalikan pilot atau "combat system officer" yang berada di daratan atau dalam kendaraan lainnya.

Pesawat tanpa awak ini umumnya digunakan untuk keperluan militer, namun kini banyak negara mengembangkannya untuk keperluan sipil seperti pemantauan dan penelitian.

Sebagai mesin perang di udara, pesawat "drone" sudah terbukti keampuhannya. Pesawat "Predator" milik AS yang berpangkalan di Afghanistan menjadi mesin perang andalan negara itu di Afghanistan dan Yaman. Harga Predator jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya pesawat pengebom B-2 Stealth yang harganya berkisar 737 juta hingga 2,2 miliar dolar AS per unit.


Konflik

Maraknya konflik bersenjata dan sengketa perbatasan antarnegara, terutama di perbatasan yang kaya akan sumber daya alam, akan mendorong banyak negara untuk mengembangkan pesawat tanpa awak untuk keperluan pengintaian maupun misi militer lainnya.

Indonesia sendiri memiliki masalah perbatasan dengan negara tetangganya, sementara kekayaan maritimnya banyak dicuri nelayan asing.

Sebelas tahun lalu, AS yang mendominasi penggunaan pesawat tanpa awak ini. Namun sekarang bukan lagi monopoli AS, karena makin banyak negara yang berminat mengembangkan atau membelinya, termasuk Indonesia. CNN menyebutkan lebih dari 70 negara kini memiliki pesawat tanpa awak, meski hanya sebagian kecil dari negara itu yang memiliki pesawat puna (tanpa awak) yang dipersenjatai.

Lonjakan kemajuan teknologi pesawat tanpa awak akan mengubah cara pandang suatu negara menghadapi perang dan ancaman, yang tentunya memacu perlombaan senjata. AS serta Israel sejauh ini merupakan eksportir utama teknologi dan pesawat drone ke banyak negara.

Melihat konflik perbatasan yang makin rawan di masa depan, terutama yang berkaitan dengan sumber daya alam yang semakin terbatas, merupakan langkah tepat yang diambil Indonesia untuk mengembangkan pesawat puna (tanpa awak) sendiri.

Komitmen capres Jokowi untuk membangun pesawat tanpa awak itu menjadi "amunisi" kuat untuk mengembangkannya, meski banyak pihak mengkritiknya karena dinilai belum tepat atau teknologinya terlalu canggih.

Indonesia jauh sebelum debat capres digelar, sudah melakukan kajian dan rekayasa teknologi untuk mengembangkan drone.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pernah menguji terbang prototipe pesawat tanpa awak terbaru di Halim Perdanakusuma Jakarta. Meski dinilai sukses, namun performa pesawat itu masih jauh dari memuaskan, seperti suara mesinnya yang masih terlalu bising. Dengan kata lain, pesawat nirwana semestinya tidak berisik atau tidak mengeluarkan suara besar.

Pesawat Luwung mempunyai bentang sayap 6,36 meter, dan terbuat dari bahan komposit. Pesawat ini mampu terbang empat jam pada ketinggian 8.000 kaki, dapat lepas landas pada jarak 300 meter, serta memiliki kecepatan operasional 52-69 knot. Pesawat ini juga dilengkapi dengan "target lock camera system" untuk misi pengintaian, serta mampu terbang hingga 73,4 km.

Penelitian dan pengembangan pesawat tanpa awak Indonesia memang masih harus terus ditingkatkan, seperti bagaimana mengembangkan jarak tempuh operasionalnya, menambah daya angkutnya serta bagaimana meminimalkan tingkat kebisingannya.

Indonesia baru memasuki fase pengembangan teknologi, setelah itu baru masuk ke tahapan "engineering manufacturing", kemudian yang terakhir adalah tahap produksi.

Mulai tahun 2011, BPPT dan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) sudah bekerja sama mengembangkan drone untuk misi pemantauan dari udara. BPPT telah mengembangkan pesawat udara nir awak sejak tahun 2004, dan telah menghasilkan berbagai prototipe puna, seperti Gagak, Pelatuk, Seriti, Alap-alap dan terakhir "Wulung" atau burung elang. Kesemuanya untuk mendukung patroli di perbatasan Indonesia.

Untuk mengembangkannya sesuai kebutuhan Indonesia, diperlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut dengan dukungan kebijakan politik dan keuangan yang lebih besar dari pemerintah hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014.

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014 diikuti pasangan capres dan cawapres, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
(H009/Z002)

Oleh Hisar Sitanggang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014