• Beranda
  • Berita
  • Menangis karena hal sedih bukan berarti "cengeng"

Menangis karena hal sedih bukan berarti "cengeng"

26 Juni 2014 18:17 WIB
Menangis karena hal sedih bukan berarti "cengeng"
Menangis-ilustrasi (ANTARANEWS/Ardika)
Jakarta (ANTARA News) - Para peneliti dari California mengatakan orang yang menangis karena adegan sedih dalam film, memposting rasa emosi dalam media sosial, atau membantu mereka yang kurang beruntung, secara genetik memiliki kecenderungan "sensitivitas pemprosesan sensorik" (SPS).  

Menurut peneliti, 20 persen orang yang terpengaruh hal-hal sedih memiliki otak yang sangat sensitif dalam merespon kejadian-kejadian emosional.

Psikolog dari Universitas Stony Brook,  Arthur dan Elaine Aron mengatakan sekitar 20 persen dari populasi dipengaruhi SPS, suatu sifat bawaan yang berhubungan dengan sensitivitas yang lebih besar, atau responsif, terhadap rangsangan lingkungan dan sosial.

Dalam sebuah studi baru, Drs. Aron dan rekan-rekannya di University of California, Albert Einstein College of Medicine, dan Monmouth University menemukan, pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) otak memberikan bukti fisik bahwa otak "sangat sensitif 'merespon gambar emosional.

Menurut Dr. Aron, sifat tersebut menjadi semakin berhubungan dengan perilaku yang dapat diidentifikasi, gen, reaksi fisiologis, dan pola aktivasi otak.

Orang yang sangat sensitif cenderung menunjukkan kesadaran tinggi terhadap rangsangan halus, memproses informasi lebih teliti, dan lebih reaktif terhadap rangsangan positif dan negatif.

Sebaliknya, sebagian besar orang memiliki SPS relatif rendah dan kurang memperhatikan rangsangan halus, tidak reaktif emosinya.

Analisis ini merupakan yang pertama menunjukkan bagaimana aktivitas otak orang yang memiliki sensitivitas tinggi (HSP) memproses emosi lain.  

"Kami menemukan daerah otak yang terlibat dengan kesadaran dan emosi, terutama daerah-daerah yang berhubungan dengan perasaan empati, pada orang-orang yang sangat sensitif menunjukkan aliran darah lebih besar ke daerah otak dibandingkan mereka yang kurang sensitif, selama dua belas detik ketika mereka memandang foto, " kata Dr Aron seperti dilansir Daily Mail.

"Ini adalah bukti fisik otak individu yang sangat sensitif merespon kuat terhadap situasi sosial yang memicu emosi, dalam hal ini wajah bahagia atau sedih," tambahnya.

Aktivitas otak tertinggi terjadi ketika orang yang memiliki sensitivitas tinggi melihat ekspresi pasangan mereka.

Hasil serupa terjadi saat otak sebagian besar peserta dipindai kembali satu tahun kemudian.

Area otak menunjukkan aktivitas terbesar - seperti yang ditunjukkan oleh aliran darah - dikenal sebagai 'sistem cermin neuron', suatu daerah sangat berhubungan dengan daerah respon empati, kesadaran, proses informasi sensorik dan perencanaan tindakan dalam otak.

Dr. Aron mengatakan temuan ini memberikan bukti bahwa kesadaran dan respon emosional adalah sifat mendasar manusia.

Penerjemah:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014