NU Jatim gagal melihat hilal

27 Juni 2014 18:53 WIB
NU Jatim gagal melihat hilal
ilustrasi Marhaban Ya Ramadhan Pelajar memperlihatkan poster 'Marhaban Ya Ramadhan' saat mengikuti pawai Ta'aruf di Lhokseumawe, Provinsi Aceh. Kamis (26/6). (ANTARA FOTO/Rahmad)

Ada 12 lokasi rukyat di Jatim, namun 10 lokasi terhalang mendung dan dua lokasi yang cerah, tapi tidak berhasil melihat hilal, karena itu kami laporkan ke PBNU untuk diteruskan ke Sidang Isbat (Kemenag),"

Surabaya (ANTARA News) - Tim Rukyatul Hilal (tim pemantau hilal atau rembulan yang menandai pergantian bulan/kalender) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur gagal melihat hilal (bulan sabit) pada 12 lokasi di Jatim, Jumat petang.

"Ada 12 lokasi rukyat di Jatim, namun 10 lokasi terhalang mendung dan dua lokasi yang cerah, tapi tidak berhasil melihat hilal, karena itu kami laporkan ke PBNU untuk diteruskan ke Sidang Isbat (Kemenag)," kata koordinator Tim Rukyatul Hilal PWNU Jatim HM Sholeh Hayat.

Wakil Ketua PWNU Jatim itu menjelaskan dua lokasi yang cerah tapi gagal melihat hilal adalah Pantai Gebang di Bangkalan dan Pantai Ngliyep di Malang Selatan.

Sementara itu, sepuluh lokasi rukyat yang terhalang mendung adalah Nambangan, Kenjeran, Surabaya; Condro, Gresik; Tanjungkodok, Lamongan; Giliketapang, Probolinggo; Ambet Pamekasan; Kalbut, Situbondo; Srau Pacitan; Lapter Trunojoyo Sumenep; Pantai Serang, Blitar; dan Pantai Jenu, Tuban.

"Kami masih menunggu keputusan pemerintah, tapi hilal kali ini secara falaqiyah memang agak sulit dirukyat, karena ukurannya 0,2 derajat atau minus," katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua PWNU Jatim KH Abdurrahman Navis Lc menjelaskan PWNU Jatim melakukan rukyatul hilal, karena Nabi Muhammad SAW memerintahkan berpuasa dan berbuka dengan melihat hilal.

"Rukyat memang ada dua cara yakni rukyat global dan rukyat lokal. Tapi, NU mengikuti rukyat lokal, karena zaman nabi itu memang masih satu area yakni Mekkah, Madinah, dan sekitarnya," katanya.

Namun, Islam sekarang sudah berkembang ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. "Indonesia sendiri berbeda area dengan Arab Saudi, bahkan waktu shalat saja berbeda," katanya.

Sementara itu, rukyat lokal juga sudah terjadi di zaman Muawiyah (Syiria) dan Ibnu Abbas (Madinah). "Utusan Ibnu Abbas dari Madinah ke Syiria, lalu pulang ke Madinah dan ternyata sudah berpuasa, karena Syiria sudah berpuasa, sedangkan Madinah masih belum," katanya.

Namun, perbedaan yang terjadi hendaknya kembali kepada keyakinan masing-masing. "Kerjakan apa yang diyakini. Di Arab Saudi relatif tidak berbeda, karena mereka memakai keputusan hakim/pemerintah bila terjadi perbedaan," katanya.

Tentang tradisi amaliah menjelang Ramadhan seperti "Megengan" dan ziarah kubur, ia mengatakan semua amaliah itu hanya bersifat nama atau simbol, namun dasar agama tetap ada yakni doa, sedekah, dan ibadah.

"Rasul menganjurkan perbanyak ibadah menjelang Ramadhan, lalu ada buka bersama, tadarus, dan sebagainya. Apem itu dari kata afwan yang berarti minta maaf dan ketupat juga dari kata kelepatan atau kesalahan, semuanya hanya simbol, tapi itu doa," katanya.

Pewarta: Edy M Yakub
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014