Jakarta (ANTARA Newss) - Di sebidang ruangan berukuran 5x10 meter, keluar kepulan asap putih dari celah-celah jendela tanpa kaca.Adukan harus sudah sampai ke dasar hingga mengental dan tidak lengket ke penggorengan."
Meski membuat mata sedikit perih, asap itu ternyata berbau durian ditambah aroma santan kelapa.
Di ruangan itu, ada enam pria sedang mengaduk olahan di sebuah penggorengan berukuran besar dengan tungku api terbuat dari kayu bakar.
Di sudut ruangan, dua orang duduk sambil tangan memeras kelapa parutan untuk diambil santannya.
Tiga lainnya sibuk memasukkan hasil olahan ke besek, sebuah tempat berbahan plastik yang biasa digunakan menyimpan nasi.
Mereka tengah membuat dodol betawi, makanan tradisional asli Jakarta yang terkenal sejak puluhan, bahkan ratusan tahun lalu.
"Dodol betawi pembuatannya hanya ada di Jakarta dengan alat tradisional yang sejak dulu tidak pernah berubah," ujar Slamet, salah seorang pembuat dodol di rumah produksi dodol "Wan Salmah", Jalan Damai Jakarta Selatan ketika ditemui Antara.
Dengan kedua tangan terus mengaduk menggunakan kayu pipih berbentuk dayung, pria 32 tahun tersebut mengaku prihatin dengan perkembangan dodol betawi saat ini.
Menurut dia, dodol asli Ibu Kota tidak boleh menjadi makanan langka karena tidak ada yang memproduksi dengan alasan semakin tingginya bahan baku pembuatannya.
"Kami harap dodol betawi tetap eksis dan pembuatnya tidak berheti memproduksi. Dodol juga jangan hanya dijadikan makanan yang hanya ada di hari-hari tertentu saja," kata pria asal Pekalongan Jawa Tengah tersebut.
Dia mengatakan, dodol betawi berwarna hitam kecoklatan dengan variasi rasa yang sedikit, yakni tawar (ketan putih atau ketan hitam) dan durian, tidak seperti dodol daerah-daerah lainnya.
Bahan baku pembuatannya terdiri dari ketan putih atau hitam, gula merah, gula pasir, santan dan bahan tambahan durian.
Proses pembuatannya membutuhkan waktu hingga delapan jam. Selain semua bahan baku harus dimasak terlebih dahulu, mengaduknya juga memerlukan waktu tidak sebentar.
"Setiap hari diawali pukul 04.00 dan baru selesai pukul 12.00," kata Slamet.
Cara pembuatannya, pertama kali gula merah dimasak di penggorengan hingga mendidih.
Kemudian, larutkan santan ditambah gula pasir dengan terus diaduk.
Saring campuran tersebut dan masak dengan beras ketan yang sudah dicampur tepung, aduk hingga rata dengan api yang tidak besar.
"Adukan harus sudah sampai ke dasar hingga mengental dan tidak lengket ke penggorengan. Setelah matang, sajikan di dalam kemasan seperti besek dan siap dijual," kata Slamet yang menjadi pembuat dodol sejak 1996.
Pesanan meningkat jelang lebaran
Sudah menjadi tradisi tahunan, setiap menjelang lebaran selalu terjadi peningkatan pesanan dodol betawi.
Menurut Slamet, tiga pekan jelang hari raya, ia dan 15 karyawan lainnya bekerja ekstra setiap harinya.
Setiap hari, mereka mampu selesai 12 tungku dengan kemasan hingga 25 besek/tungku. Kalau ditotal mencapai 300 besek/hari.
Harga setiap beseknya mencapai Rp70 ribu khusus rasa durian, dan Rp60-65 ribu rasa tawar/biasa.
"Kalau hari raya biasanya untuk disajikan tamu saat silaturahim lebaran. Dodol ini termasuk makanan yang tidak cepat basi, sehingga bisa dimakan dalam jangka waktu beberapa hari," katanya.
Pemilik produksi dodol, Salmah, mengaku saat ini membuat pesanan setiap menjelang puasa dan lebaran. Berbeda dengan dulu yang berproduksi dan membuat dodol setiap hari.
"Sekarang membuat kalau ada pesanan, khususnya menjelang Hari Raya Idul Fitri. Tahun ini pesanan juga sudah menumpuk," tuturnya.
Wanita berusia 72 tahun tersebut mengaku sudah puluhan tahun membuat dodol dan telah menyalurkan resep pembuatannya ke remaja maupun ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya.
"Mereka bisa berkembang dan memproduksi dodol sendiri. Ada juga yang menjualnya langsung dalam kemasan sesuai selera," ucapnya.
Khusus menjelang Idul Fitri 1435 H, pesanan dodol betawi ke tempatnya cukup ramai. Bahkan, lanjut dia, sepekan menjelang lebaran semakin banyak pembeli yang datang.
"Kami sengaja tidak menjual di toko atau pasar. Jadi, pembeli bisa datang langsung dengan memesannya terlebih dahulu," kata Wan Salmah, sapaan akrabnya.
Pewarta: Fiqih Arfani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014