Prayut, yang menggulingkan pemerintah terpilih dalam kudeta tak berdarah 22 Mei, didukung 191 dari 197 anggota majelis, dengan tiga abstain dan tiga pemilih absen.
Tidak ada anggota majelis yang menentang pemilihan panglima militer itu, yang merupakan calon tunggal untuk jabatan tersebut, demikian menurut laporan AFP.
Pengangkatannya harus disetujui oleh Raja Bhumibol Adulyadej meskipun dukungan kerajaan dipandang sebagai formalitas.
Langkah sang jenderal untuk melepaskan baju seragamnya dan mengambil alih jabatan perdana menteri dilihat sebagai upaya untuk memperkokoh kendali militer terhadap politik bangsa yang bergolak itu.
Junta telah mengesampingkan mengadakan pemilihan umum baru sebelum sekitar Oktober 2015, meskipun terdapat imbauan-imbauan dari Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk kembali ke demokrasi.
Prayut, yang akan pensiun sebagai panglima militer pada September, dipandang sebagai penentang buronan mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra, yang digulingkan dalam kudeta sebelumnya pada tahun 2006 yang memicu krisis politik di Thailand.
Thaksin, kakak Yingluck, melarikan diri dari Thailand pada tahun 2008 untuk menghindari hukuman penjara karena tuduhan korupsi.
Para penguasa militer mengatakan mereka ingin reformasi Thailand untuk mengakhiri tahun kekacauan politik dan kekerasan jalanan, tetapi para pengulas melihat pengambilalihan kekuasaan sebagai upaya untuk menghapus pengaruh Thaksin.
Junta telah bersumpah untuk tetap di tempat secara paralel dengan masa depan pemerintah, yang akan mencalonkan Prayut sebagai perdana menteri.
(Uu.H-AK)
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2014