Durasi tidur optimal, risiko sakit pun rendah

10 September 2014 20:33 WIB
Durasi tidur optimal, risiko sakit pun rendah
ILUSTRASI - Tidur. (istimewa)

Durasi tidur yang optimal harus dipromosikan, seperti tidur terlalu lama atau terlalu sebentar mengindikasikan masalah kesehatan.

Jakarta (ANTARA News) - Penelitian terbaru menyatakan bahwa waktu tidur optimal akan menurunkan risiko absen dari pekerjaan karena sakit, demikian hasil penelitian bersama National Healthy Sleep Awareness Project.

Risiko sakit berkepanjangan meningkat tajam pada mereka yang dilaporkan memiliki waktu tidur kurang dari 6 jam atau lebih dari 9 jam setiap malam. Demikian studi yang dipublikasikan jurnal Sleep.

Analisis lebih lanjut menemukan, durasi tidur yang optimal adalah antara 7 dan 8 jam setiap malam (7 jam 38 menit untuk perempuan dan 7 jam 46 menit untuk laki-laki).

Menurut hasil ini, insomnia dan gejala terkait, terbangun dini hari, merasa lebih lelah daripada yang lain serta konsumsi obat tidur, secara konsisten juga berhubungan dengan peningkatan yang signifikan hilangnya waktu kerja karena sakit.

"Durasi tidur yang optimal harus dipromosikan, seperti tidur terlalu lama atau terlalu sebentar mengindikasikan masalah kesehatan, " ujar peneliti dari Finnish Institute of Occupational Health, Tea Lallukka, PhD.

"Mereka yang tidur lima jam atau kurang, atau 10 jam atau lebih, tidak masuk kerja setiap tahun selama 4,6-8,9 hari, dibandingkan mereka yang waktu tidurnya optimal," katanya seperti dilansir laman American Academy of Sleep Medicine.

Mengomentari temuan ini, presiden American Academy of Sleep Medicine, Dr Timothy Morgenthaler, mengatakan, kurangnya waktu tidur berkontribusi pada beberapa epidemi kesehatan masyarakat saat ini seperti, penyakit kardiovaskular, diabetes dan obesitas.

",... setidaknya tujuh jam tidur di malam hari merupakan kunci untuk kesehatan secara keseluruhan, yang berarti berkurangnya waktu mengalami sakit," katanya yang juga merupakan juru bicara salah satu proyek tidur sehat.

Untuk sampai pada temuan tersebut, para peneliti
melakukan surveu nasional yang melibatkan 3.760 orang laki-laki dan perempuan berusia 30--64 tahun di Finlandia. Mereka ini bekerja setiap saat pada tahun sebelum survei dilakukan.

Untuk mengetahui karakteristik tidur para partisipan ini, peneliti menggunakan kuesioner dan pemeriksaan fisik yang dilakukan dokter.

Para peneliti juga mengumpulkan data soal absensi kerja para partisipan dari Lembaga Asuransi Sosial Finlandia. Mereka mengikuti data ini selama tujuh tahun.

"Gejala Insomnia harus dideteksi dini untuk membantu mencegah penyakit dan penurunan kesehatan. Suksesnya pencegahan insomnia tidak hanya meningkatkan kesehatan dan kemampuan bekerja para karyawan, tetapi juga dapat menghemat biaya karena adanya penyakit," kata Lallukka. (*)

Penerjemah:
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014