Jakarta (ANTARA News) - Pemerintahan baru perlu membangun "kebun energi terbarukan" yaitu kebun sawit khusus untuk memproduksi minyak sawit (crude palm oil/CPO) untuk bahan bakar nabati (BBN) yang ramah lingkungan (biodisel), kata pengamat energi Wibowo S. Wirjawan, di Jakarta, Senin.Rakyat berpartisipasi menyediakan bahan baku energi nabati, turut serta dalam proses produksi bahan bakar nabati (BBN) dan menyediakan energi untuk rakyat banyak.
"Langkah awal yang perlu ditempuh pemerintah untuk mewujudkan kebun energi itu dengan membentuk aliansi antara BUMN bidang perkebunan dengan BUMN sektor energi sebagai pemegang komando implementasi program tersebut," kata pengamat energi, Wibowo Wirjawan, terkait keinginan pemerintah baru mengembangkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan.
Wibowo Wirjawan mengatakan produk biodiesel tersebut nantinya dijual kepada BUMN energi untuk didistribusikan dan dijual ke pasar dalam negeri. Sementara hasil penjualan kelapa sawit bisa digunakan oleh petani untuk mencicil pinjaman kredit lunaknya.
"Ini yang menjadi konsep energi dari rakyat untuk rakyat. Rakyat berpartisipasi menyediakan bahan baku energi nabati, turut serta dalam proses produksi bahan bakar nabati (BBN) dan menyediakan energi untuk rakyat banyak," ujarnya.
Dikatakannya, pemerintah Jokowi-JK bisa memanfaatkan banyaknya lahan terlantar di Indonesia yang mencapai 70 juta hektar, terutama hutan yang sudah tidak produktif, lahan gambut ex-program 1 juta hektare dan lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang ditelantarkan pemiliknya.
"Tidak ada kata terlambat untuk memulai. Pemerintahan baru harus mulai membangun 'kebun energi' sekarang meskipun hasilnya baru akan dinikmati dalam tiga hingga empat tahun mendatang," ujar mantan Deputi Pengendalian Finansial BP Migas (sekarang SKK Migas).
Ia menambahkan melalui pembentukan "kebun energi" yang dikelola bersama oleh aliansi BUMN perkebunan dan energi, maka masalah lingkungan, pengelolaan limbah dan karbon (CO2) bisa diatasi melalui penerapan manajemen kebun yang berstandar Indonesia Sustainability Palm Oil (ISPO).
Ia menjelaskan pengembangan biofuel di Indonesia tidak berkembang pesat seperti di negara lain karena banyaknya faktor penghambat dalam implementasi program pengembangan biodiesel.
"Padahal banyak dampak ikutan yang didapat. Untuk produksi green diesel 100.000 barrel per hari dibutuhkan sekitar lima juta ton CPO per tahun dan luas lahan 1 juta hektare. Perlu tenaga kerja sekitar 1,5 juta orang dan devisa yang bisa dialihkan ke dalam negeri sebagai substitusi impor mencapai 4,6 miliar per tahun," jelasnya lagi.
Ia mengakui program biodiesel generasi I yang telah dilakukan mempunyai sejumlah kelemahan, seperti menyebabkan mesin "nglitik", mudah beku pada suhu tertentu, dan kandungan sulfur yang bisa menyebabkan korosi mesin.
Namun menurut dia, dengan teknologi proses yang lebih maju seperti milik Neste Oil maka kelemahan tersebut bisa diatasi dan menghasilkan bahan bakar diesel berkualitas tinggi, bahkan melebihi kualitas bahan bakar diesel dari minyak bumi (petro diesel). (*)
Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014