• Beranda
  • Berita
  • Memantik kesadaran "oh iya" lewat Kelas Inspirasi

Memantik kesadaran "oh iya" lewat Kelas Inspirasi

30 September 2014 06:58 WIB
Memantik kesadaran "oh iya" lewat Kelas Inspirasi
Ilustrasi- Proses belajar mengajar yang dilakukan relawan Kelas Inspirasi di satu sekolah. (KelasInspirasi.org/Grafis)

Saya memahami kalau anak-anak itu tidak berani bermimpi...

Surabaya, (ANTARA News) - Ajeng dan Winda, tampak berpikir keras untuk menjelaskan kesan-kesan yang diterima setelah sekolahnya mendapatkan kunjungan relawan pengajar Kelas Inspirasi atau KI.

Siswa kelas VI SD Negeri Taman, Kecamatan Grujugan, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, itu kemudian memaksakan diri menggunakan diksi yang sebetulnya tidak sepenuhnya ia pahami. "Terinspirasi," kata Ajeng.

Ketika ditanya apa yang dimaksud "terinspirasi", siswa berambut lurus berkulit agak gelap ini kesulitan menjelaskan. Namun, ketika dibantu dengan kata kunci, "oh, iya ya", Ajeng dan Winda langsung tersenyum. Mereka serempak menjawab, "Iya pak, betul."

Ajeng mengaku pikirannya terbuka dan kesadarannya terpantik, "Oh, iya ya, ada profesi lain yang bisa saya geluti nanti, selain ingin menjadi dokter, polisi atau tentara dan lainnya." Ternyata menjadi wartawan juga menggiurkan. Apalagi bisa mengunjungi banyak tempat, bahkan hingga ke luar negeri.

"Pertahanan" Ajeng mulai goyah untuk urusan cita-cita. Bayangan bisa jalan-jalan gratis ke Korea Selatan atau negeri lain telah menggoda hatinya untuk mencoba peruntungan di dunia merangkai kata itu.

"Iya, ada pak pikiran itu ke sana. Apalagi bisa jalan-jalan," kata Winda, ketika ditanya apakah setelah mengikuti kelas yang diisi oleh jurnalis, sempat tebersit ingin menjadi penyebar berita itu.

Ketika tiba giliran menulis cita-cita di kertas yang kemudian diikatkan pada tali balon, ternyata Winda tetap pada cita-citanya ingin menjadi guru. Hanya Ajeng yang menulis mantap ingin menjadi wartawan.

Ajeng, yang orang tuanya bekerja di gudang tembakau dan ibunya membuka toko itu mengaku tertarik dengan cerita guru barunya yang hanya mengajar satu hari itu. Guru itu berprofesi sebagai jurnalis. Ia berpikir "enak juga" bekerja dengan suasana seperti itu. Bisa tahu peristiwa demi peristiwa atau terjun langsung ke sumber peristiwa itu terjadi.

Pada poin apa Ajeng tertarik menjadi wartawan? Jawabnya, rekreasi gratis tapi dibayar. Meskipun demikian, pikiran lama Ajeng masih ada. Ia bertanya, apakah menjadi jurnalis itu kalau pensiun mendapatkan uang. Si jurnalis itu menjawab, iya. Bukankah saat ini banyak program jasa keuangan yang menyediakan layanan pensiun?

Relawan lain, Budiamin, pelukis yang juga guru SMP menemukan kenyataan masih kuatnya pola berpikir "itu-itu saja" di kalangan murid. Mengenai cita-cita, ya "itu-itu juga". Tidak ia temukan anak yang kemudian mantap bercita-cita menjadi pelukis atau musisi dan lainnya.

"Inilah fungsinya kami datang ke sekolah. Membuka pikiran anak-anak mengenai pilihan-pilihan profesi. Saya memahami kalau anak-anak itu tidak berani bermimpi yang di luar itu-itu saja, karena mereka kurang dididik berpikir kreatif," katanya.

Ia mencontohkan ketika praktik menggambar, ada seorang anak di belakang yang naik bangku, kemudian dimarahi oleh guru. Bagi Budiamin, perilaku si anak bukan sebuah kenakalan, melainkan wujud dari kuatnya motivasi.

Si anak sangat berhasrat memenuhi kebutuhan ingin tahunya dengan melalui berbagai cara. Naik bangku pun dijalani. Kalau tidak, maka si anak tidak akan bisa menyaksikan Budiamin, perupa serba bisa ini beraksi.

"Coba kalau ruangannya besar kan si anak tidak perlu naik ke bangku. Saya kira hal-hal seperti ini harus kita sadari bersama agar tidak mudah memberi cap-cap negatif pada anak didik," kata guru matematika ini.

Sementara Walidha Tanjung Files, musisi yang telah banyak pentas di luar negeri itu mengemukakan bahwa sejatinya, keterlibatan dirinya dalam KI di Bondowoso bukan sekedar memberi motivasi pada anak-anak.

Pria kelahiran Madiun yang kini banyak berkativitas di Surabaya itu mengaku justru banyak belajar dari kegiatan itu. Ia mengaku teringat masa kecilnya ketika usia sekolah dasar. Banyak tanda tanya di dalam dirinya, termasuk masa depannya yang tidak mendapat tampungan untuk ditumpahkan.

"Akibatnya banyak anak yang kemudian dipaksa oleh orang tuanya untuk sekolah di jurusan tertentu, padahal si anak tidak nyaman di situ. Anak tidak berdaya untuk menolaknya," katanya.

Ia sendiri mengaku pernah mengikuti keinginan orang tuanya untuk kuliah di jurusan akuntansi, namun hanya bertahan satu tahun. Ia kemudian mengokohkan diri di jalurnya yang dianggap sesuai jiwanya, yakni dunia seni. Maka ia kuliah di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya jurusan teater.

Files kemudian bisa membuktikan pada orang tuanya bahwa pilihannya di jalur seni tidak salah. Ia bisa melanglang ke banyak negara dengan kemahirannya menggesek dawai biola.

"Kalau ada KI lagi, saya ingin ikut lagi," katanya.

Kepala SD Negeri Taman Solehati mengemukakan bahwa dalam menghadapi anak didiknya ia selalu ingat dengan pesan seorang penceramah agama tentang anak yang belum memiliki dosa.

"Penceramah itu bilang, kalau ada anak seusia itu meninggal, maka akan masuk surga karena belum punya dosa. Nah, menghadapi calon penghuni surga itu kan harus sabar, karena kita tidak lebih mulia dari mereka," katanya.

Ia sepakat bahwa berpikir positif pada anak merupakan bagian penting yang harus dipegang oleh guru dalam mengantar anak didiknya menggapai masa depan yang lebih baik.

Pertemuan siswa dan relawan pengajar memang singkat. Masing-masing kelas hanya sekitar 45 menit. Namun, pertemuan itu membuat anak-anak berkesan. Bahkan untuk anak-anak kelas satu hingga empat merasa tidak beruntung karena kelasnya hanya dilewati para guru dadakan itu.

Sejumlah kepala sekolah lain bercerita bahwa siswa selain kelas V dan VI bertanya mengapa para relawan tidak mengajar di kelas mereka juga.

"Mereka rupanya iri karena hanya kakak-kakak kelas yang diajar oleh adik-adik relawan," katanya. (*)

Oleh Masuki M Astro
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014