"KPK menahan KCK (Kwee Cahyadi Kumala) di rumah tahanan Jakarta Timur kelas 1 cabang KPK untuk 20 hari pertama," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Selasa.
Cahyadi yang dijemput paksa dari satu restoran di Sentul hanya diam saat dibawa petugas KPK ke mobil tahanan KPK menuju rutan di basement gedung KPK. Cahyadi sudah mengenakan rompi oranye tahanan KPK.
Ia tiba di KPK pada 12.15 WIB dan selesai diperiksa sekitar pukul 18.50 WIB sebagai tersangka kasus pemberian suap sebesar Rp4,5 miliar kepada mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin dalam perkara dugaan korupsi tukar-menukar kawasan hutan seluas 2.754 hektar di kabupaten Bogor dan upaya merintangi penyidikan KPK.
"Penyidik menyimpulkan KCK perlu dilakukan upaya penahanan, seseorang ditahan mengacu pada undang-undang karena diduga dia melakukan upaya penghilangan barang bukti, mengulangi perbuatan, mempengaruhi saksi atau melarikan diri jadi salah satu syaratnya sudah terpenuhi, tapi penahanan ini tentu subjektivitas penyidik," ungkap Johan.
Penyidik KPK menurut Johan mendapatkan informasi bahwa Cahyadi berupaya untuk mempengaruhi saksi.
"Tadi pagi penyidik memperoleh informasi sejak beberapa waktu lalu ada upaya mempengaruhi saksi-saksi dalam perkara tukar-menukar kawasan hutan di kabupaten Bogor, dan informasi ada upaya KCK untuk mengamankan atau menghilangkan barang bukti, karena itu tadi sekitar pukul 11 di restoran Taman Budaya Sentul City, KPK melakukan pejembutan KCK dengan bersama beberapa orang," ungkap Johan.
Ada 6 orang yang dijemput paksa yaitu Cahyadi Kumala, dua orang supir, dua orang teman Cahyadi dan orang kepercayaan Cahyadi, Robin Zulkarnaen. Namun mereka dilepaskan seusai diperiksa KPK.
KPK menyangkakan pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya dengan ancaman pidana penjara 1-5 tahun dan denda Rp50-250 juta.
Selanjutnya KPK juga menyangkakan dugaan perbuatan merintangi penyidikan berdasarkan pasal 21 No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut mengenai setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa maupun para saksi dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau minimal Rp150 juta dan maksimal Rp600 juta.
Dalam dakwaan Rachmat Yasin disebutkan bahwa kawasan hutan seluas 2.754 hektar rencananya akan dijadikan pemukiman berupa kota satelit Jonggol City, padahal pada lahan itu terdapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) atas nama PT Indocement Tungal Prakarsa dan PT Semindo Resources sehingga hanya dapat diberikan kawasan seluas 1.668,47 hektar.
Cahyadi Kumala pada Januari 2014 bertemu secara pribadi di Sentul City dan Rachmat Yasin meminta sejumlah uang kepada Cahyadi Kumala sehingga pada 30 Januari 2014, Cahyadi Kumala memberikan cek senilai Rp5 miliar kepada Yohan Yap.
Yohan Yap bersama dengan Robin Zulkarnaen, Heru Tandaputra pada Februari 2014 memberikan Rp1 miliar kepada Rachmat Yasin di ruman dinas, dilanjutkan pemberian pada Maret 2014 sebesar Rp2 miliar. Atas pemberian uang itu, M Zairin pun membuat konsep rekomendasi dengan memasukkan surat pernyataan dari PT BJA, rekomendasi gubernur dan surat dirjen Planologi mengenai klarifikasi rekomendasi 4 Maret 2014 sebagai dasar hukum agar rekomendasi segera diterbitkan.
Surat rekomendasi tukar-menukar lahan atas nama PT BJA pun diterbitkan pada 29 April 2014 namun masih ada sisa komitmen yang belum diberikan sehingga pada 7 Mei 2014, Yohan Yap dan Zairin akan memberikan uang Rp1,5 miliar kepada Rachmat Yasin dan kemudian KPK menangkap keduanya. (D017)
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014