Jakarta (ANTARA News) - Minat karyawan untuk meminjau uang ke tempatnya bekerja semakin meningkat sehingga mendorong sejumlah perusahaan aktif memberikan edukasi mengenai perencanaan keuangan.Karyawan harus tahu mengenai cara membagi penghasilan, seperti dari 100 persen pendapatan maka 35 persennya untuk cicilan rumah, 10 persen untuk asuransi, 10 persen untuk dana pensiun, dan sisanya untuk gaya hidup,"
"Saat ini ada kencenderungan karyawan untuk meminjam uang ke perusahaan. Kondisi ini harus disiasati karena perusahaan tidak mungkin menaikkan gaji untuk mengikuti semua keinginan karyawan," kata Ketua Lembaga Sertifikasi Perencana Keuangan (FPSB) Tri Djoko Santoso di Jakarta, Rabu.
Ia mengemukakan, para karyawan harus diedukasi mengenai cara mengendalikan keinginan agar kebutuhan primer tetap terpenuhi seperti memiliki rumah.
"Karyawan harus tahu mengenai cara membagi penghasilan, seperti dari 100 persen pendapatan maka 35 persennya untuk cicilan rumah, 10 persen untuk asuransi, 10 persen untuk dana pensiun, dan sisanya untuk gaya hidup," ujar dia.
Menurutnya yang harus direvisi yakni mengenai gaya hidup dari karyawan karena sebagian besar masih mengikuti keinginan atau bukan berlandaskan pada kebutuhan.
"Seperti kebanyakan yang dilakukan, uang hari ini dihabiskan hari ini. Padahal yang seharusnya, uang hari ini adalah sebagian uang yang akan digunakan pada masa mendatang," kata dia.
Menurutnya, karyawan harus diberikan makna dari perencanaan keuangan yakni betapa pentingnya menyiapkan dana untuk menghadapi masa paceklik yakni ketika seseorang tidak produktif.
"Inilah yang disebut para perencana keuangan, yakni kebebasan finansial. Di mana seseorang saat masa tuanya tidak lagi terlilit cicilan utang, memiliki asuransi untuk jaga-jaga jika sakit, dan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari," kata dia.
Ia menambahkan, untuk mencapai kebebasan finansial pada hari tua itu harus melalui suatu perencanaan keuangan di saat muda.
"Ini masalah sikap jadi memang tidak mudah, kadang orang sudah mengetahui teorinya tapi sulit untuk merealisasikannya. Namun terlepas dari hal ini, semua dapat dimulai dengan langkah awal yang mudah yakni dengan membuat daftar apa yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkan," ujar dia.
Ia mengemukakan, para karyawan harus diedukasi mengenai cara mengendalikan keinginan agar kebutuhan primer tetap terpenuhi seperti memiliki rumah.
"Karyawan harus tahu mengenai cara membagi penghasilan, seperti dari 100 persen pendapatan maka 35 persennya untuk cicilan rumah, 10 persen untuk asuransi, 10 persen untuk dana pensiun, dan sisanya untuk gaya hidup," ujar dia.
Menurutnya yang harus direvisi yakni mengenai gaya hidup dari karyawan karena sebagian besar masih mengikuti keinginan atau bukan berlandaskan pada kebutuhan.
"Seperti kebanyakan yang dilakukan, uang hari ini dihabiskan hari ini. Padahal yang seharusnya, uang hari ini adalah sebagian uang yang akan digunakan pada masa mendatang," kata dia.
Menurutnya, karyawan harus diberikan makna dari perencanaan keuangan yakni betapa pentingnya menyiapkan dana untuk menghadapi masa paceklik yakni ketika seseorang tidak produktif.
"Inilah yang disebut para perencana keuangan, yakni kebebasan finansial. Di mana seseorang saat masa tuanya tidak lagi terlilit cicilan utang, memiliki asuransi untuk jaga-jaga jika sakit, dan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari," kata dia.
Ia menambahkan, untuk mencapai kebebasan finansial pada hari tua itu harus melalui suatu perencanaan keuangan di saat muda.
"Ini masalah sikap jadi memang tidak mudah, kadang orang sudah mengetahui teorinya tapi sulit untuk merealisasikannya. Namun terlepas dari hal ini, semua dapat dimulai dengan langkah awal yang mudah yakni dengan membuat daftar apa yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkan," ujar dia.
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014